Empati adalah salah satu nilai luhur dalam kehidupan sosial. Saat seseorang meminta bantuan dengan nada panik dan nada minta tolong, umumnya kita akan tergerak membantu, terutama jika permintaan itu datang secara mendadak dan terdengar seperti kondisi darurat. Namun, justru karena sifat empati dan kepedulian inilah, banyak penipu memanfaatkannya sebagai celah. Modus penipuan dengan berpura-pura dalam keadaan darurat semakin marak, menyasar siapa saja yang berhati baik dan mudah percaya.
Penipuan semacam ini bekerja dengan cara membangun kesan bahwa pelaku sedang dalam keadaan genting—entah kecelakaan, dirampok, terdampar di luar kota, anaknya sakit, hingga kehilangan dompet dan HP. Lalu, pelaku akan menghubungi korban secara langsung lewat telepon, SMS, atau pesan instan, dan meminta transfer uang segera. Agar lebih meyakinkan, mereka menyelipkan narasi emosional, bahkan terkadang menyamar sebagai orang dekat korban seperti saudara, teman lama, atau atasan kerja.
Misalnya, pelaku bisa menyamar sebagai kerabat jauh yang mengaku sedang di rumah sakit dan butuh dana untuk operasi. Atau mengaku sebagai teman yang sedang di luar kota dan tertahan di terminal tanpa ongkos pulang. Karena semuanya dikemas dengan urgensi tinggi dan tekanan waktu, korban sering kali tak sempat berpikir panjang. Perasaan kasihan dan takut “terlambat membantu” membuat mereka cepat mengambil keputusan—mengirimkan uang tanpa verifikasi.
Modus ini semakin berbahaya karena pelaku sering menggunakan data pribadi korban yang diambil dari media sosial atau diretas, sehingga cerita mereka terasa meyakinkan. Bahkan ada yang berpura-pura menjadi pegawai rumah sakit atau petugas polisi yang mengatakan bahwa korban kecelakaan sedang dirawat dan butuh dana segera. Dalam kepanikan, siapa pun bisa tertipu.
Yang paling menyedihkan, penipu tidak segan menyentuh sisi paling manusiawi kita: simpati, kasih sayang, dan rasa tanggung jawab. Banyak korban merasa terpanggil untuk menolong, tanpa sempat mengecek kebenaran informasi. Setelah uang dikirim, pelaku menghilang begitu saja, dan barulah korban sadar bahwa mereka telah dimanfaatkan.
Untuk menghindari jebakan ini, penting bagi kita untuk memahami prinsip sederhana: bantuan yang tulus tidak akan pernah terburu-buru dan penuh tekanan. Jika ada permintaan uang mendadak dari orang yang mengaku dalam bahaya, jangan langsung percaya. Lakukan verifikasi secara tenang—telepon balik, konfirmasi ke keluarga, atau cek kebenaran cerita ke pihak berwenang.
Waspadai pula jika pelaku meminta ditransfer ke rekening baru, tidak mau bicara langsung lewat telepon, atau hanya bisa berkomunikasi lewat pesan singkat. Itu semua adalah tanda-tanda mencurigakan yang tidak boleh diabaikan. Jangan karena terburu nafsu ingin membantu, kita justru kehilangan uang dan kepercayaan.
Di sisi lain, edukasi digital kepada keluarga dan komunitas sangat penting. Banyak penipuan semacam ini menyasar orang tua, guru, atau karyawan yang belum terbiasa melakukan pengecekan informasi secara cepat. Ajaran untuk “tolong-menolong” harus disertai pemahaman bahwa tidak semua yang tampak darurat benar-benar darurat.
Penipu yang mencuri dengan dalih bantuan adalah pelaku kejahatan yang sangat licik, karena mereka merusak kepercayaan dan solidaritas sosial. Mereka mengubah nilai empati menjadi alat manipulasi, dan membuat banyak orang jadi ragu untuk menolong orang lain di masa depan.
Maka, langkah pertama untuk melawan mereka adalah dengan membekali diri dan orang sekitar dengan ketegasan, kecermatan, dan verifikasi. Karena dalam dunia digital, tidak semua teriakan minta tolong adalah nyata—bisa saja itu hanya trik untuk menguras uang dari tangan yang sedang berusaha menolong.