Di tengah keresahan hidup, sakit yang tak kunjung sembuh, dan beban psikologis yang menumpuk, banyak orang mulai mencari pertolongan di luar jalur medis. Tak sedikit dari mereka yang akhirnya beralih ke paranormal atau spiritualis, yang mengklaim mampu menyembuhkan penyakit lewat energi gaib, doa khusus, atau “ilmu keturunan”. Yang lebih berbahaya, sebagian pelaku menyelubungi praktiknya dengan simbol-simbol agama, seolah-olah penyembuhan itu berasal dari ajaran suci. Inilah modus penipuan berkedok penyembuhan dan keagamaan, yang semakin canggih dan sulit dikenali.
Pelaku penipuan jenis ini sering kali tampil layaknya tokoh agama: berpakaian sopan, berbicara lembut, dan menyisipkan kalimat-kalimat religius dalam setiap konsultasi. Mereka menyebut diri sebagai “ustaz penyembuh”, “tabib ruqyah”, atau “orang yang diberi karomah”, dan mengaku mendapat ilmu dari jalur warisan kiai besar atau pengalaman bertapa bertahun-tahun. Dengan cara ini, mereka menciptakan aurat otoritas spiritual yang membungkam nalar korban.
Modus penipuan dimulai saat korban datang untuk berkonsultasi. Keluhannya bisa beragam—penyakit medis, gangguan tidur, masalah rumah tangga, hingga “serangan santet” atau gangguan makhluk halus. Sang “paranormal” kemudian mendiagnosis bahwa masalah itu berasal dari sebab-sebab gaib yang tidak bisa ditangani dokter, dan menawarkan solusi spiritual yang sifatnya berbayar.
Pelaku akan menawarkan paket penyembuhan berupa doa khusus, mandi air ruqyah, transfer energi, atau pemasangan jimat dan benda bertuah. Tarifnya bervariasi, bisa ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah, tergantung seberapa parah “energi negatif” yang diklaim menyerang korban. Dalam prosesnya, kadang diminta tambahan biaya untuk “sesajen”, “mahar doa”, atau “biaya ritual malam”.
Yang membuat praktik ini semakin mencemaskan adalah pelaku menggunakan nama Tuhan, ayat suci, dan istilah agama untuk menjustifikasi aksinya. Mereka seolah menyembuhkan atas dasar keimanan, padahal tujuannya murni bisnis pribadi. Bahkan ada yang mengklaim bahwa “uang yang dikeluarkan akan dibalas berkali lipat oleh Tuhan”, meniru konsep sedekah, padahal itu adalah bujuk rayu klasik dalam skema penipuan.
Tidak sedikit korban yang datang dalam keadaan tertekan dan akhirnya pasrah, tanpa berpikir kritis. Mereka percaya karena pelaku tampak religius dan berbicara tentang kebaikan. Sayangnya, setelah uang habis dan “penyembuhan” tak juga terasa, korban sadar telah tertipu. Sayangnya, banyak yang enggan melapor karena takut dianggap mempermainkan hal-hal spiritual atau merasa bersalah mempertanyakan sosok yang mengatasnamakan agama.
Untuk menangkal modus semacam ini, masyarakat harus mulai menyadari bahwa iman tidak boleh dijadikan celah bisnis, dan penyakit tidak boleh dimanfaatkan sebagai alat pemerasan. Penanganan gangguan kesehatan—baik fisik maupun psikis—sebaiknya dikonsultasikan terlebih dahulu ke tenaga medis atau psikolog profesional. Bantuan spiritual tentu boleh dicari, namun harus disertai dengan akal sehat dan kewaspadaan.
Jika seseorang menawarkan penyembuhan tetapi meminta bayaran mahal, menjual jimat, atau menjanjikan kesembuhan instan, maka perlu dicurigai. Apalagi jika mereka menghindari pertanggungjawaban dan menakut-nakuti korban dengan kutukan atau ancaman gaib jika proses dihentikan.
Agama sejatinya membawa pencerahan, bukan ketakutan. Jika ada pihak yang menggunakan dalih agama untuk memperkaya diri, maka mereka bukan membawa pesan ilahi, melainkan mengaburkan makna agama demi keuntungan pribadi. Masyarakat perlu berani menolak tipu daya semacam ini dan mengedukasi orang-orang di sekitar agar tidak terjebak dalam lingkaran penipuan spiritual.
Karena pada akhirnya, penyembuhan sejati datang dari kebenaran dan kejujuran, bukan dari manipulasi yang diselimuti doa palsu.