Di era digital, ruang percakapan semakin meluas. Grup-grup WhatsApp tak lagi sekadar tempat berbagi kabar keluarga, info komunitas, atau diskusi santai. Sayangnya, ruang virtual yang awalnya bernuansa kekeluargaan ini justru menjadi ladang subur bagi para penipu untuk menebar jebakan, salah satunya melalui modus tawaran nikah siri.
Modus ini menyasar individu yang sedang berada dalam kondisi rentan—baik secara emosional, ekonomi, maupun sosial. Pelaku biasanya menyamar sebagai pihak perantara atau “mak comblang digital” yang mengklaim dapat membantu mempertemukan jodoh secara cepat, aman, dan diam-diam. Grup WhatsApp menjadi tempat strategis untuk menyebarkan tawaran tersebut karena sifatnya tertutup dan tampak terpercaya.
Penipu akan mengunggah postingan berisi profil singkat calon pasangan—lengkap dengan narasi menarik seperti duda mapan, janda baik hati, atau tokoh agama yang ingin menikah secara sederhana dan cepat. Kalimat-kalimat seperti “tanpa biaya mahal”, “tanpa repot urusan keluarga”, atau “cukup sekali pertemuan langsung akad” sering digunakan untuk meyakinkan calon korban. Beberapa bahkan menyisipkan embel-embel agama agar tawaran terlihat lebih sah dan syar’i.
Namun di balik itu semua, skenario ini hanya tipuan belaka. Setelah korban menunjukkan ketertarikan, pelaku akan mulai meminta sejumlah uang sebagai syarat awal, seperti biaya administrasi, mahar, biaya saksi, atau ongkos perjalanan. Dalam beberapa kasus, ada juga yang diminta untuk membayar “penjaminan” agar tidak dicoret dari daftar jodoh yang tersedia. Jika korban mengirim uang, pelaku akan terus mengulur waktu dengan berbagai alasan hingga akhirnya menghilang tanpa jejak.
Yang membuat modus ini berbahaya adalah cara pelaku menggunakan kedok agama dan kebutuhan akan pasangan hidup sebagai alat manipulasi. Korban sering kali merasa terhormat karena dianggap layak dijodohkan, apalagi jika pelaku mengatakan bahwa si calon adalah orang terpandang. Keinginan untuk segera menikah—baik karena tekanan sosial maupun kebutuhan emosional—membuat banyak orang lengah dan mudah terbujuk.
Lebih ironis lagi, beberapa pelaku justru memanfaatkan korban sebagai bagian dari jaringan penipuan baru. Setelah gagal dijodohkan, korban bisa ditawari peran sebagai “agen pencari jodoh”, yang pada akhirnya menjebak korban lain. Ini menciptakan lingkaran penipuan yang terstruktur dan merugikan lebih banyak orang, dengan kerusakan psikologis yang tidak kecil.
Untuk melindungi diri dari jebakan ini, penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa urusan jodoh tidak pernah bisa dipercepat dengan janji manis dan transaksi diam-diam. Jika ada tawaran nikah siri yang datang tiba-tiba lewat grup WA, ajakan itu patut dicurigai. Perlu dicamkan bahwa pernikahan, dalam bentuk apapun, harus dilakukan secara terbuka, jujur, dan tanpa paksaan.
Waspadai juga jika pelaku enggan menunjukkan identitas jelas, menolak bertemu secara tatap muka, atau meminta uang sebelum pertemuan pertama. Itu adalah tanda-tanda klasik dari penipuan online berbasis kepercayaan dan tekanan sosial. Jangan sungkan untuk berkonsultasi dengan orang yang bisa dipercaya atau tokoh agama setempat jika ragu.
Masyarakat harus diberdayakan untuk lebih kritis dan tidak terbuai oleh narasi manis dalam ruang digital. Grup WhatsApp seharusnya menjadi tempat memperkuat hubungan, bukan medan berburu korban bagi para penipu. Ketika tawaran jodoh datang dari orang asing dan disertai permintaan uang, maka itulah saatnya untuk menolak sebelum terlambat.