Chatbot diciptakan untuk mempermudah layanan pelanggan. Namun, di tangan pelaku kejahatan digital, teknologi ini justru dijadikan alat tipu daya yang licik. Fenomena terbaru menunjukkan bahwa chatbot palsu kini mulai digunakan untuk menipu pengguna melalui situs yang tampaknya resmi, bahkan terlihat profesional dan terpercaya.
Modus ini biasanya bermula dari pengguna yang mencari informasi atau ingin mengakses layanan dari suatu instansi atau perusahaan tertentu. Mereka mengunjungi situs yang terlihat resmi—baik karena tampilannya meyakinkan, maupun karena muncul di halaman awal hasil pencarian. Namun, tanpa disadari, situs tersebut ternyata bukan situs asli, melainkan hasil tiruan yang dibuat oleh penipu.
Pada tampilan halaman utama, chatbot muncul secara otomatis di pojok layar, menyapa pengunjung dengan gaya ramah layaknya layanan pelanggan pada umumnya. Chatbot ini biasanya akan menawarkan bantuan cepat, seperti pengecekan tagihan, pelacakan pengiriman, pengajuan pinjaman, hingga pengembalian dana. Semua tampak normal hingga chatbot mulai meminta data-data sensitif dari pengguna.
Yang membuatnya berbahaya adalah cara chatbot ini mengarahkan pengguna secara sistematis untuk menyerahkan informasi pribadi seperti nomor rekening, kode OTP, data KTP, email, dan bahkan password. Tak sedikit pengguna yang mengira sedang berinteraksi dengan sistem resmi, apalagi bila situs memiliki logo dan nama domain yang sekilas mirip dengan yang asli.
Dalam beberapa kasus, chatbot palsu juga menawarkan tautan untuk “melanjutkan proses” atau “mengunduh formulir penting”, yang ternyata berisi malware atau program peretas. Sekali pengguna mengklik atau mengisi formulir palsu tersebut, data mereka langsung dicuri dan disalahgunakan.
Lebih lanjut, chatbot palsu ini kerap diprogram untuk merespons secara responsif dan natural, sehingga korban semakin percaya dan tidak curiga. Bahkan ada chatbot yang mengarahkan korban ke nomor WhatsApp atau Telegram “resmi” untuk melanjutkan proses, padahal itu bagian dari jebakan.
Dampak dari penipuan ini sangat serius. Korban bukan hanya kehilangan data pribadi, tapi juga bisa mengalami pencurian dana dari rekening, pembobolan akun penting, atau menjadi korban pinjaman online ilegal. Di sisi lain, reputasi institusi atau brand yang dipalsukan juga ikut tercoreng, meski mereka tidak terlibat sama sekali.
Langkah pencegahan utama adalah tidak sembarangan mengklik link dari mesin pencari atau media sosial. Pastikan selalu mengecek keaslian situs lewat domain resmi, akun terverifikasi, atau direktori pemerintah. Jika Anda sedang menggunakan chatbot, berhati-hatilah jika diminta informasi yang seharusnya bersifat rahasia.
Selalu ingat: chatbot asli biasanya tidak akan pernah meminta data sensitif seperti PIN, OTP, atau informasi kartu kredit secara langsung. Bila ragu, tutup situs tersebut dan cari jalur komunikasi resmi yang tersedia, seperti email customer service atau call center dari situs atau perusahaan yang bersangkutan.
Perluasan literasi digital di kalangan masyarakat adalah hal mendesak. Makin canggih teknologi, makin pintar pula para penipu. Kita harus terus membekali diri dengan pengetahuan agar bisa membedakan mana layanan resmi dan mana yang hanya jebakan dalam bentuk modern.