Kemajuan teknologi komunikasi membawa kemudahan luar biasa, namun di saat yang sama membuka celah baru bagi pelaku penipuan digital. Salah satu modus yang kini semakin sering digunakan adalah penipuan melalui SMS yang menggunakan format resmi, seperti yang biasa dikirimkan oleh bank, instansi pemerintah, atau operator telekomunikasi. Yang menjadi target utama? Lansia dan masyarakat berusia lanjut yang belum sepenuhnya akrab dengan dinamika dunia digital dan belum memiliki tingkat literasi teknologi yang memadai.
Modus ini dijalankan dengan sangat rapi dan meyakinkan. Pelaku merancang pesan teks yang menyerupai notifikasi resmi dari lembaga terpercaya. Mereka menggunakan nama pengirim (sender ID) yang dimodifikasi agar tampak identik dengan nama instansi, lengkap dengan logo, nomor referensi, dan susunan kalimat formal yang umum ditemukan dalam layanan pelanggan.
Contoh pesan yang dikirim bisa berbunyi:
“Yth. Bapak/Ibu, rekening Anda terdeteksi tidak aktif dan akan diblokir. Segera klik tautan berikut untuk verifikasi: [link palsu]”
Atau:
“Selamat! Anda terpilih menerima bantuan pemerintah. Silakan isi data melalui link berikut ini.”
Ketika pesan semacam itu diterima oleh lansia, yang sering kali terbiasa mempercayai surat atau pesan resmi, maka kemungkinan besar mereka akan menuruti perintah dalam pesan tersebut tanpa curiga. Terlebih jika di dalamnya terdapat unsur ancaman atau tekanan waktu, seperti “akun akan diblokir dalam 1×24 jam” atau “bantuan akan hangus jika tidak segera diklaim.”
Begitu tautan diklik, korban akan diarahkan ke situs yang menyerupai portal resmi — bisa berupa laman bank palsu, formulir bantuan sosial tiruan, atau halaman verifikasi kartu identitas. Situs ini kemudian akan meminta data-data pribadi seperti nomor KTP, nomor rekening, nama ibu kandung, bahkan PIN dan kode OTP. Dalam waktu singkat, pelaku sudah memiliki akses untuk membobol rekening, membajak akun, atau menyalahgunakan identitas korban.
Tidak sedikit korban yang baru menyadari setelah saldo tabungan mereka habis atau setelah mendapat notifikasi login mencurigakan dari lokasi lain. Yang membuat lebih menyedihkan, sebagian besar dari mereka enggan melapor atau bahkan tidak tahu harus melapor ke mana. Rasa malu karena tertipu sering membuat mereka diam dan menanggung kerugian sendiri.
Lebih mengkhawatirkan lagi, pelaku juga memanfaatkan fakta bahwa lansia cenderung menggunakan ponsel fitur biasa (feature phone) yang tidak memiliki sistem keamanan sebaik smartphone modern. Mereka juga tidak terbiasa memeriksa keaslian tautan atau mengaktifkan fitur keamanan dua langkah.
Untuk menanggulangi penipuan ini, perlu adanya upaya bersama dari berbagai pihak:
- Keluarga dan orang-orang terdekat harus aktif mendampingi lansia dalam hal penggunaan teknologi. Edukasi secara rutin tentang bagaimana mengenali pesan palsu, apa itu OTP, dan pentingnya tidak membagikan data pribadi kepada siapa pun, bahkan jika mengaku dari bank sekalipun.
- Pemerintah dan lembaga resmi perlu mengedukasi masyarakat bahwa mereka tidak pernah meminta data pribadi melalui SMS atau tautan terbuka. Kampanye melalui TV, radio, dan posyandu lansia dapat menjadi kanal yang efektif menjangkau mereka.
- Operator seluler harus meningkatkan sistem pemfilteran SMS spam dan penipuan. Penggunaan sender ID palsu seharusnya dapat dideteksi dan diblokir sebelum menjangkau pengguna.
- Perkuat sistem keamanan pada perangkat lansia. Jika memungkinkan, keluarga bisa membantu mengatur ponsel mereka dengan filter pesan, pembatasan akses ke tautan, dan memasang aplikasi keamanan yang mudah digunakan.
- Dorong lansia untuk tidak mengambil keputusan digital sendirian. Biasakan agar mereka berkonsultasi dulu kepada anak atau cucu sebelum membuka pesan, mengisi formulir, atau mengirim data pribadi ke pihak yang tidak dikenal.
Penipuan yang menyasar lansia dengan kedok SMS resmi adalah bentuk kejahatan yang sangat keji, karena memanfaatkan kelemahan paling mendasar: kepercayaan tulus dan ketidaktahuan teknis. Dalam banyak budaya, lansia adalah sosok yang dihormati dan dijaga, namun di dunia digital, mereka justru menjadi sasaran empuk yang kerap dilupakan perlindungannya.
Kita tidak bisa berharap lansia menjadi ahli teknologi dalam semalam. Tapi kita bisa membantu mereka agar tetap aman — dengan bimbingan, perhatian, dan komunikasi yang terbuka. Karena di balik layar kecil ponsel mereka, bisa jadi tersembunyi ancaman yang besar.
Jangan biarkan orang tua dan kakek-nenek kita menjadi korban berikutnya. Ajari mereka, dampingi mereka, dan ingatkan bahwa tidak semua yang terlihat resmi itu benar. Sebab keamanan digital adalah tanggung jawab bersama, bukan beban individu semata.