Kepedulian terhadap sesama adalah salah satu fondasi utama dalam membangun masyarakat yang beradab. Di era media sosial, aksi solidaritas semakin mudah diwujudkan, terutama saat seseorang membagikan kisah menyentuh hati: seorang ibu yang sakit keras, anak kecil yang butuh operasi segera, atau warga yang menderita penyakit langka dan tidak mampu membayar pengobatan. Sayangnya, narasi-narasi ini juga telah menjadi alat bagi para penipu yang lihai memainkan simpati publik. Salah satu modus yang kian sering terjadi adalah penipuan dengan cerita sakit parah yang ditujukan kepada komunitas sosial atau kelompok donatur.
Pelaku biasanya menyebarkan cerita melalui pesan berantai, unggahan di grup WhatsApp, forum komunitas, atau platform donasi publik. Mereka mencantumkan foto pasien yang tampak menderita, rekam medis palsu, dan tulisan penuh haru yang menyentuh perasaan siapa pun yang membacanya. Mereka mengklaim bahwa pasien sedang kritis, butuh biaya operasi dalam waktu dekat, atau menunggu tindakan medis darurat yang sangat mahal. Untuk meyakinkan pembaca, pelaku juga mencantumkan rekening atas nama pribadi, seolah-olah milik keluarga pasien.
Komunitas sosial yang memang memiliki semangat untuk membantu langsung tergerak. Ajakan berdonasi dibagikan ulang, uang mulai dikumpulkan, dan dalam waktu singkat, ratusan hingga ribuan orang terlibat dalam penggalangan dana tersebut. Tak jarang, pelaku bahkan menyusup ke dalam komunitas berbasis agama, sekolah, atau hobi, agar narasi yang dibawa lebih cepat diterima dan dipercayai.
Namun, setelah dana terkumpul dan disalurkan, korban mulai curiga. Nomor pelaku mendadak tak aktif, akun media sosial hilang, dan saat mencoba mencari keberadaan rumah sakit atau pasien yang dimaksud, semuanya tidak bisa ditemukan. Bahkan dalam beberapa kasus, foto pasien yang digunakan ternyata diambil dari luar negeri atau hasil pencurian gambar milik pasien sungguhan yang tidak tahu menahu. Saat itulah komunitas baru sadar bahwa mereka telah menjadi korban tipuan terencana dengan memanfaatkan empati kolektif.
Penipuan seperti ini sangat berbahaya, bukan hanya karena menyebabkan kerugian materi, tetapi juga karena merusak nilai-nilai sosial. Banyak komunitas yang akhirnya menjadi enggan membantu lagi karena takut tertipu. Rasa solidaritas yang dulunya kuat, berubah menjadi curiga dan skeptis. Para penderita yang benar-benar membutuhkan bantuan pun ikut terdampak karena kepercayaan publik semakin menurun.
Yang membuat modus ini sulit dikenali adalah kemampuannya menciptakan cerita yang terasa nyata. Pelaku paham betul emosi mana yang harus disentuh, tahu bagaimana membungkus kebohongan dengan detail yang meyakinkan, dan sering bersembunyi di balik identitas orang lain agar tidak mudah dilacak. Bahkan ketika dilaporkan, tidak semua platform media sosial atau donasi memiliki sistem verifikasi yang ketat untuk menyaring penggalangan dana palsu.
Untuk itu, penting bagi setiap individu dan komunitas untuk meningkatkan budaya verifikasi sebelum berdonasi, meskipun ajakan datang dari orang yang dikenal. Pastikan penggalangan dana dilakukan lewat platform resmi yang memiliki prosedur verifikasi penerima bantuan. Jika pengumpulan dilakukan langsung oleh komunitas, mintalah dokumentasi yang lengkap: surat keterangan dari rumah sakit, kontak keluarga pasien, hingga bukti bahwa pasien memang dirawat dan membutuhkan bantuan.
Selain itu, jangan ragu untuk mengecek ulang foto-foto yang digunakan dengan pencarian gambar terbalik di internet. Banyak pelaku yang menggunakan gambar dari kasus lama atau dari luar negeri yang bisa dengan mudah dilacak jika dilakukan pengecekan sederhana.
Kebaikan tidak boleh mati hanya karena ulah segelintir penipu. Tapi agar kebaikan tetap bertahan, ia harus dibentengi oleh kecermatan dan kesadaran. Jangan biarkan cerita sedih yang dimanipulasi menjadi alasan untuk merampas kepercayaan kita. Bantulah mereka yang benar-benar membutuhkan — tapi bantu pula diri kita sendiri agar tidak tertipu oleh mereka yang menjual duka demi keuntungan pribadi.
