Kalimat “sudah lama tak jumpa” selalu membawa nuansa hangat, seolah mempertemukan kembali dua orang yang pernah dekat di masa lalu. Sapaan ini sering menjadi pintu masuk untuk membuka percakapan, menyambung silaturahmi, atau sekadar bernostalgia. Tapi di balik kerinduan yang terasa akrab itu, kini tersimpan modus penipuan yang terus berkembang. Dengan menyamar sebagai kenalan lama, pelaku memanfaatkan identitas masa lalu sebagai kedok untuk menjerat korban, menguras kepercayaan, dan pada akhirnya menguras isi rekening.
Modus ini bukan hal baru. Tapi kini pelaku mengemasnya dengan pendekatan yang jauh lebih halus dan meyakinkan. Mereka memanfaatkan informasi yang tersedia secara publik — seperti daftar alumni, foto-foto lama di media sosial, atau komentar di grup komunitas — untuk menciptakan identitas yang tampak familiar. Saat menyapa korban, mereka menyebut nama sekolah, tahun angkatan, bahkan guru atau kejadian spesifik yang pernah viral di masa lalu.
Awalnya, pelaku membangun suasana hangat. Percakapan berlangsung santai, penuh nostalgia, dan tidak langsung mengarah pada permintaan apa pun. Mereka bertanya kabar, menceritakan “perjalanan hidup”, dan bahkan mengekspresikan keinginan untuk bertemu atau menjalin silaturahmi kembali. Tapi seiring waktu, percakapan mulai berubah arah. Pelaku menyisipkan cerita sedih: sedang kesulitan ekonomi, terkena musibah, butuh bantuan dana mendadak, atau ingin meminjam uang untuk hal mendesak seperti ongkos pulang kampung, biaya rumah sakit, atau tebusan barang penting.
Yang membuat korban sering tertipu adalah karena semuanya terasa “nyambung”. Detail yang disebut pelaku terasa benar, cara bicara akrab, dan tidak terkesan seperti penipuan. Bahkan ada yang sampai membuat panggilan suara atau video singkat — meskipun buram — agar korban semakin yakin bahwa mereka sedang berbicara dengan teman lama sungguhan. Dengan celah kepercayaan ini, korban mulai melunak dan akhirnya mengirimkan sejumlah uang tanpa merasa perlu melakukan verifikasi.
Namun setelah uang dikirim, cerita berubah. Pelaku mulai sulit dihubungi, menghindar, atau malah memblokir kontak korban. Nomor yang digunakan tidak aktif lagi, dan semua akun media sosial hilang. Saat korban mencoba menelusuri lebih lanjut, barulah mereka sadar bahwa semua yang mereka percayai hanyalah ilusi — disusun dari potongan data pribadi yang dicuri atau dimanipulasi.
Modus ini menjadi semakin efektif karena menyasar korban dari berbagai kalangan. Tidak hanya orang tua atau pengguna media sosial aktif, tetapi juga mereka yang pernah aktif di komunitas tertentu, sekolah lama, atau organisasi. Penipu memanfaatkan sentimen emosional dan kerinduan yang manusiawi, lalu mengubahnya menjadi alat manipulasi yang sangat licik.
Untuk menghindari menjadi korban modus ini, penting bagi setiap orang untuk menahan diri dari rasa percaya yang spontan, terutama dalam komunikasi digital. Jika seseorang tiba-tiba menghubungi dengan sapaan nostalgia, pastikan untuk mengecek identitasnya dengan cara lain. Hubungi teman bersama, telusuri akun lamanya, dan hindari memberikan bantuan dalam bentuk uang sebelum memastikan identitas dan niat orang tersebut benar.
Perlu juga diingat bahwa tidak semua komunikasi hangat berarti tulus. Dunia digital memberi ruang luas bagi siapa saja untuk membangun identitas palsu — dan semakin canggih cara mereka mengelabui. Jangan mudah terbawa suasana, apalagi jika ajakan silaturahmi diikuti dengan permintaan dana. Karena kadang, “sudah lama tak jumpa” bukan panggilan hati, melainkan strategi penipuan yang dikemas dalam nostalgia.
Kita boleh tetap terbuka terhadap pertemuan masa lalu, tetapi jangan lupa membawa kewaspadaan di setiap sapa yang datang tiba-tiba. Di era informasi, rasa rindu pun bisa dimanipulasi, dan kerinduan yang tulus bisa dijadikan pintu masuk oleh mereka yang ingin mencuri lebih dari sekadar kepercayaan.
