Pangandaran – Selama puluhan tahun, Indonesia menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Lama sebagai fondasi hukum pidana. Warisan kolonial (UU No. 1 Tahun 1946) ini sangat menekankan Asas Legalitas sebagai pilar utama. Prinsip ini menjadi pembatas utama kewenangan negara dalam menjatuhkan hukuman.
Asas legalitas tercermin dalam adagium Latin “nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali”. Artinya, tidak ada pidana tanpa aturan yang sudah ada sebelumnya. Pasal 1 ayat (1) KUHP Lama menegaskan, aparat hanya dapat menghukum perbuatan yang sudah diatur secara tertulis sebelum perbuatan itu dilakukan.
Penerapan ketat asas ini memiliki dua implikasi penting: Pertama, larangan berlaku surut (non-retroaktif)—hukum tidak dapat diterapkan pada perbuatan yang terjadi sebelumnya. Kedua, larangan penggunaan penafsiran analogi yang terlalu luas oleh hakim, sebab KUHP Lama hanya mengakui hukum pidana tertulis.
KUHP Lama yang menekankan hukum tertulis secara langsung tidak mengakui Hukum Pidana Adat sebagai dasar pemidanaan. Pendekatan legalistik-formal ini memang menjamin kepastian hukum, namun publik seringkali menilai kurang mencerminkan keadilan yang hidup di masyarakat.
Meskipun KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023) mengakui hukum adat dan prinsip non-retroaktif, asas legalitas KUHP Lama tetap penting. Asas ini melindungi warga dari kesewenang-wenangan karena mewajibkan aparat menghukum hanya berdasarkan aturan yang sudah ada.