PANGANDARAN – Istilah diskresi kepolisian mengacu pada kewenangan legal Polri untuk bertindak berdasarkan penilaian sendiri atau kebijaksanaan. Ini digunakan untuk kepentingan umum saat menghadapi situasi mendesak, kekosongan hukum, atau aturan yang tidak jelas.
Kewenangan ini berlandaskan kuat pada Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Pasal tersebut memberi izin kepada pejabat Kepolisian untuk “bertindak menurut penilaiannya sendiri” demi kepentingan umum. Hal ini membuat polisi menjadi aparat yang bisa bertindak cepat dan adaptif.
Namun, diskresi bukan kebebasan mutlak. UU Kepolisian dan Perkap (Peraturan Kapolri) menetapkan batas ketat: tindakan harus didasari itikad baik, tidak boleh melanggar HAM, dan wajib dipertanggungjawabkan. Diskresi dilarang melampaui batas wewenang atau digunakan secara sewenang-wenang.
Contoh umum terlihat di jalan raya. Saat macet, Polisi Lalu Lintas berhak mengatur arus secara manual meski bertentangan dengan sinyal lampu, demi kelancaran umum. Contoh lain adalah mediasi penal untuk kasus ringan, seperti pencurian yang melibatkan anak, demi keadilan restoratif.
Meskipun vital, penyalahgunaan sering merentankan diskresi, dan publik sering mengkritiknya. Untuk pencegahan, Polri mendorong anggotanya memastikan setiap tindakan diskresi berpegang pada Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Hal ini menjamin Polisi mengambil tindakan yang proporsional dan rasional.