Pangandaran, 6 Juli 2025 – Istilah “tertangkap tangan” sering muncul di berita kriminal dan menimbulkan berbagai tafsir. Namun, dalam hukum Indonesia, definisinya jelas dan diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Memahami ini penting agar kita bisa membedakan penangkapan biasa dengan penangkapan “tertangkap tangan” yang punya implikasi hukum berbeda.
Definisi Resmi dalam KUHAP
Menurut Pasal 1 angka 19 KUHAP, seseorang dikatakan “tertangkap tangan” bila:
- Ditangkap saat sedang melakukan tindak pidana: Ini kasus paling umum, penangkapan terjadi tepat saat kejahatan berlangsung.
- Ditangkap segera sesudah tindak pidana itu dilakukan: Penangkapan terjadi tak lama setelah kejahatan selesai, masih sangat dekat dengan kejadian.
- Sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai pelakunya: Penangkapan berdasarkan teriakan atau tuduhan masyarakat sesaat setelah kejadian.
- Sesaat kemudian padanya ditemukan benda bukti kuat: Penangkapan terjadi karena ditemukan barang bukti yang sangat mengindikasikan keterlibatannya dalam kejahatan, dan penemuan itu terjadi sesaat setelah tindak pidana.
Mengapa Definisi Ini Penting?
Definisi spesifik ini vital dalam hukum acara pidana. Kondisi “tertangkap tangan” memberi kewenangan khusus bagi aparat dan masyarakat. Misalnya, polisi dapat langsung menangkap tanpa surat perintah, walau harus segera dibuat setelahnya (Pasal 18 ayat (2) KUHAP).
Bagi masyarakat, pemahaman ini juga krusial. Jika Anda melihat seseorang tertangkap tangan, Anda berhak dan wajib menyerahkan orang tersebut ke penyidik terdekat (Pasal 111 ayat (1) KUHAP). Namun, ini bukan izin untuk main hakim sendiri atau melakukan penangkapan sembarangan tanpa memenuhi kriteria “tertangkap tangan” yang diatur hukum.
Dengan demikian, “tertangkap tangan” bukan hanya frasa populer, tapi terminologi hukum dengan konsekuensi jelas bagi penegakan hukum di Indonesia.