Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) membawa banyak manfaat, tetapi juga membuka pintu bagi berbagai kejahatan digital. Salah satu bentuk penyalahgunaan teknologi yang kini makin mencemaskan adalah deepfake—sebuah teknik manipulasi audio dan video yang mampu meniru wajah dan suara seseorang secara sangat meyakinkan. Kini, penipuan berbasis deepfake mulai marak dan semakin sulit terdeteksi, bahkan oleh orang terdekat sekalipun.
Pada dasarnya, deepfake bekerja dengan menyalin ekspresi wajah, gerakan bibir, bahkan intonasi suara dari seseorang, lalu menggabungkannya ke dalam video atau suara lain sehingga tampak asli. Jika sebelumnya teknologi ini hanya digunakan dalam ranah hiburan dan eksperimen digital, kini pelaku kejahatan menggunakannya untuk menipu korban dalam skala yang jauh lebih berbahaya.
Salah satu modus yang kian sering terjadi adalah penipuan video call palsu. Pelaku menghubungi korban dengan menyamar sebagai anggota keluarga, atasan, atau rekan kerja. Wajah dan suara yang ditampilkan dalam panggilan video adalah hasil deepfake yang menyerupai target tersebut. Dengan penuh kepanikan buatan, “pelaku” mengaku sedang dalam situasi darurat dan meminta uang segera ditransfer. Karena wajah dan suaranya sangat mirip, banyak korban langsung percaya tanpa memverifikasi lebih lanjut.
Tak hanya itu, pelaku juga memanfaatkan video deepfake untuk membuat testimoni palsu dari tokoh terkenal. Video tersebut menampilkan selebriti, pejabat, atau ahli keuangan seolah-olah merekomendasikan investasi tertentu. Target yang melihat video semacam ini mengira ajakan tersebut asli, dan terjebak dalam penipuan berkedok endorsement.
Parahnya, teknologi deepfake kini bisa diakses dengan mudah oleh siapa pun. Cukup bermodalkan beberapa foto dan rekaman suara target, serta aplikasi yang tersedia gratis atau murah di internet, seseorang sudah bisa membuat video palsu yang sangat meyakinkan. Ini berarti batas antara kenyataan dan kebohongan semakin kabur, terutama bagi masyarakat yang belum paham soal teknologi ini.
Selain menipu individu, deepfake juga mulai digunakan untuk menyerang instansi dan perusahaan. Contohnya, pelaku mengirimkan video palsu yang menampilkan atasan perusahaan meminta transfer dana operasional atau pengubahan data penting. Kasus semacam ini sudah terjadi di beberapa negara dan menyebabkan kerugian miliaran rupiah karena perintah dalam video terlihat sah dan tidak menimbulkan kecurigaan.
Ancaman semacam ini menunjukkan bahwa verifikasi satu arah (hanya lewat wajah atau suara) sudah tidak lagi cukup. Masyarakat perlu menerapkan sistem verifikasi ganda, seperti menggunakan kode tertentu, kata sandi pribadi, atau menghubungi balik pihak yang bersangkutan melalui nomor yang telah dikenal sebelumnya. Tidak semua panggilan video yang tampak nyata bisa dipercaya begitu saja.
Lebih jauh lagi, pemerintah dan penyedia platform digital harus mulai menyusun regulasi dan teknologi pendeteksi deepfake. Beberapa perusahaan teknologi besar telah mengembangkan alat pelacak metadata dan pola pixel untuk mengidentifikasi video palsu, namun sistem ini belum diterapkan secara luas. Tanpa upaya kolektif, penyebaran deepfake akan semakin sulit dikendalikan.
Dari sisi edukasi masyarakat, penting untuk mengenalkan apa itu deepfake dan bagaimana mengenalinya. Salah satu ciri khas video deepfake adalah gerakan wajah yang tidak sinkron, ekspresi datar, atau pencahayaan yang tampak aneh. Namun, seiring kemajuan teknologi, ciri-ciri ini pun mulai menghilang. Maka dari itu, sikap skeptis terhadap konten yang mencurigakan tetap menjadi pertahanan utama.
Penipuan dengan deepfake adalah wajah baru dari kejahatan digital yang makin kompleks. Di masa depan, tantangan akan semakin besar ketika teknologi ini menjadi semakin realistis dan tersedia secara massal. Maka dari itu, kesadaran, literasi digital, dan verifikasi berlapis adalah hal mutlak yang harus diterapkan agar masyarakat tidak terjebak oleh ilusi digital yang merugikan.