Salah satu modus penipuan klasik yang masih saja memakan korban hingga kini adalah “transfer salah nomor.” Meskipun terdengar kuno dan sederhana, cara ini masih terbukti efektif, terutama karena pelaku memanfaatkan sikap baik dan kepedulian korban. Modus ini sering muncul dalam bentuk pesan teks atau chat, dan jika tidak ditanggapi dengan hati-hati, bisa menyebabkan kerugian dalam jumlah yang tidak sedikit.
Skemanya terlihat seperti ini: korban menerima pesan WhatsApp atau SMS dari seseorang yang mengaku salah mentransfer sejumlah uang ke rekening korban. Biasanya, pesan itu disertai dengan bukti transfer palsu—berupa tangkapan layar mutasi bank atau notifikasi transfer dengan jumlah yang tidak kecil, misalnya satu juta, lima juta, bahkan sepuluh juta rupiah. Pelaku lalu meminta korban untuk segera mengembalikan uang tersebut ke rekening yang ditentukan.
Karena dilengkapi bukti transfer yang terlihat meyakinkan, banyak orang merasa tidak enak dan terburu-buru mengembalikan uang tersebut. Apalagi jika pelaku memainkan peran sebagai orang panik—mengaku uangnya itu untuk biaya rumah sakit, kebutuhan keluarga, atau dana mendesak lain yang menyentuh simpati. Dalam waktu singkat, korban mentransfer dana sesuai permintaan, baru kemudian menyadari bahwa tidak ada uang masuk ke rekeningnya sejak awal.
Kunci dari keberhasilan modus ini terletak pada kecepatan dan tekanan emosi. Pelaku berusaha menciptakan suasana genting agar korban tidak sempat berpikir jernih atau mengecek kebenaran klaim tersebut. Sering kali mereka juga menambahkan kalimat manipulatif seperti, “Tolong bantu ya, ini darurat banget” atau “Saya mohon, ini masalah keluarga saya.” Kalimat seperti ini mampu membuat banyak orang merasa bersalah jika tidak segera menolong.
Yang lebih licik, pelaku kadang mengaku sebagai teman atau rekan kerja korban, dengan menyebutkan nama yang akrab atau menggunakan foto profil WhatsApp yang menyerupai orang yang dikenal. Mereka tahu bahwa keterikatan personal akan memengaruhi respons, sehingga korban akan lebih mudah percaya dan cepat mengambil tindakan.
Korban baru sadar tertipu saat menyadari rekeningnya tidak pernah menerima uang masuk, dan pelaku sudah tidak bisa dihubungi lagi. Beberapa bahkan sudah terlanjur mentransfer dua kali, karena pelaku membuat alasan tambahan seperti “rekening saya salah, kirim ke rekening yang satu lagi ya.”
Cara terbaik untuk menangkal modus ini adalah dengan bersikap skeptis terhadap setiap klaim transfer yang tidak bisa dibuktikan secara real-time. Jangan langsung percaya hanya karena ada tangkapan layar. Selalu cek mutasi rekening pribadi melalui mobile banking atau ATM, dan pastikan memang ada dana masuk yang sesuai sebelum mengambil keputusan untuk mentransfer uang keluar.
Selain itu, hindari berbagi informasi rekening di tempat umum atau media sosial. Jangan sampai pelaku bisa mengakses informasi dasar tentang nama dan nomor rekening Anda, yang bisa mereka gunakan untuk menyusun skenario tipu-tipu.
Bank sebagai penyedia layanan keuangan juga perlu meningkatkan edukasi kepada nasabahnya. Sosialisasi soal modus penipuan semacam ini penting dilakukan melalui aplikasi, email resmi, dan media sosial. Bahkan bila perlu, dibuat fitur verifikasi tambahan sebelum nasabah melakukan transfer ke rekening baru yang tidak dikenal.
Jika Anda merasa hampir menjadi korban, segera laporkan ke pihak berwajib atau call center bank yang bersangkutan. Lebih baik berhati-hati dan menunda, daripada menyesal karena bertindak terburu-buru. Seringkali, penipu hanya perlu celah kecil untuk merampas hak milik orang lain, dan celah itu biasanya muncul saat seseorang terlalu baik dan tidak curiga.
Karena itu, di zaman yang serba cepat ini, penting untuk diingat: niat baik harus tetap dibarengi dengan nalar kritis. Jangan sampai sikap peduli malah dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan yang lihai bermain perasaan.