Keadilan adalah cita-cita yang agung, namun ia tidak berdiri sendiri. Di balik setiap keputusan yang adil, harus ada kebijaksanaan yang menuntunnya. Tanpa kebijaksanaan, keadilan berubah menjadi kaku, dingin, bahkan bisa menyesatkan.
Keadilan bukan sekadar menerapkan hukum secara literal. Jika hukum ditegakkan tanpa mempertimbangkan konteks sosial, kemanusiaan, dan dampak jangka panjang, maka kita hanya mengganti ketidakadilan dengan bentuk lain yang lebih halus namun tetap menyakitkan.
Contohnya, menghukum seorang ibu miskin yang mencuri makanan untuk anaknya dengan hukuman yang sama seperti pencuri korupsi miliaran rupiah—apakah itu adil? Hukum mungkin diterapkan, tapi tanpa kebijaksanaan, keadilan gagal menemukan maknanya yang sejati.
Kebijaksanaan adalah kemampuan untuk melihat lebih dalam: memahami akar masalah, membedakan niat, dan menimbang nilai kemanusiaan di atas formalitas aturan. Ia bukan pembenaran untuk melanggar hukum, tapi cara untuk menafsirkan hukum agar tetap relevan dan berperikemanusiaan.
Dalam setiap ruang pengadilan, ruang rapat, atau bahkan di tengah masyarakat, kebijaksanaan adalah syarat mutlak agar keadilan benar-benar hidup—bukan sekadar dihormati dalam teks undang-undang.
Maka benar adanya: keadilan tanpa kebijaksanaan adalah mustahil. Tanpa kebijaksanaan, hukum kehilangan hati nuraninya. Dan tanpa hati nurani, hukum tidak lebih dari alat kekuasaan, bukan pelindung keadilan.