Meski sudah berulang kali dibongkar dan diperingatkan oleh berbagai otoritas keuangan, skema Ponzi masih terus menjamur—terutama di platform media sosial seperti Facebook. Dalam wujud yang lebih modern, penipuan klasik ini kini bertransformasi menjadi program “komunitas saling bantu”, “gerakan ekonomi umat”, hingga “pendanaan gotong royong” yang menyasar siapa saja yang sedang berjuang memperbaiki kondisi keuangan.
Skema Ponzi sendiri merupakan sistem di mana uang dari anggota baru digunakan untuk membayar keuntungan bagi anggota yang sudah lebih dulu bergabung. Sistem ini tidak memiliki produk atau layanan riil. Seluruh aliran dana hanya bergantung pada pertumbuhan jumlah peserta. Jika tidak ada anggota baru, sistem akan runtuh dengan sendirinya. Meski sederhana, skema ini sangat efektif menipu karena dibalut dengan iming-iming return tinggi dan cepat, serta atmosfer komunitas yang meyakinkan.
Pelaku biasanya membentuk grup Facebook dengan nama yang menyentuh—misalnya “Komunitas Kemandirian Finansial”, “Gerakan Bebas Riba”, atau “Ekonomi Mandiri Tanpa Bank”. Mereka menyasar kalangan yang religius, ibu rumah tangga, pekerja lepas, atau siapa pun yang sedang mencari tambahan penghasilan tanpa harus bekerja ekstra. Admin grup sering kali tampil seperti mentor spiritual atau pemimpin komunitas yang peduli, menggunakan kutipan-kutipan motivasi dan bahasa yang menyentuh hati.
Di dalam grup, pelaku akan memposting testimoni dari orang-orang yang “sudah berhasil”. Mereka memperlihatkan tangkapan layar bukti transfer, cerita perubahan hidup setelah bergabung, hingga pencapaian-pencapaian keuangan yang luar biasa. Untuk meyakinkan lebih dalam, mereka kadang mengadakan zoom meeting atau live Facebook, menampilkan orang-orang yang berpura-pura sebagai peserta lama yang bahagia dan loyal.
Sistemnya biasanya berbentuk penyetoran dana ke rekening pribadi admin atau leader, dengan janji akan mendapatkan pengembalian dana dua hingga tiga kali lipat dalam waktu singkat. Di awal, pelaku benar-benar mengirimkan “hasil” ke beberapa orang terpilih agar berita keberhasilan tersebar cepat. Tapi ini hanyalah taktik pancingan untuk menjaring korban baru dalam jumlah besar. Semakin banyak orang yang percaya dan menyetor dana, semakin besar keuntungan pelaku.
Setelah dana terkumpul banyak, situasi mulai berubah. Jadwal pembayaran mulai mundur dengan alasan teknis: sistem sedang upgrade, rekening dalam proses audit, atau sedang disiapkan model bisnis baru yang lebih “berkelanjutan”. Para peserta yang mulai curiga dan bertanya malah dianggap tidak sabar atau menyebarkan energi negatif dalam komunitas. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan langsung dikeluarkan dari grup dan diblokir.
Saat sistem benar-benar ambruk, pelaku akan menghilang. Grup ditutup, akun Facebook lenyap, dan semua komunikasi terputus. Korban yang sudah menyetor jutaan hingga puluhan juta rupiah hanya bisa saling menyalahkan atau menyesali keputusan yang telah dibuat. Lebih menyakitkan, beberapa dari mereka sebelumnya sempat mengajak saudara, teman dekat, bahkan tetangga untuk ikut bergabung, sehingga rasa bersalah menjadi beban psikologis tambahan yang sulit dihapus.
Sayangnya, karena skema ini beroperasi di media sosial dan tidak terdaftar secara resmi, upaya hukum untuk menindak pelaku sering kali sulit dilakukan. Bahkan dalam banyak kasus, pelaku bukan penipu profesional, melainkan korban dari jaringan di atasnya yang sekadar mengulang pola karena ingin balik modal. Ini membuat pelacakan dan penegakan hukum menjadi lebih rumit dan berlapis-lapis.
Yang lebih memprihatinkan, meski sudah banyak korban, model skema Ponzi terus bermetamorfosis. Setelah satu grup dibubarkan, muncul lagi grup baru dengan nama berbeda tapi sistem yang sama. Penampilan mereka pun makin profesional: pakai logo, website, bahkan aplikasi. Tapi intinya tetap sama—uang masuk dari bawah, dikirim ke atas, dan akan runtuh begitu perekrutan berhenti.
Solusi jangka panjang dari masalah ini hanya bisa diwujudkan lewat literasi finansial yang menyeluruh. Masyarakat harus memahami bahwa dalam dunia investasi, tidak ada keuntungan besar tanpa risiko. Dan semua sistem keuangan yang sehat harus memiliki produk atau layanan nyata, badan hukum yang terdaftar, serta pengawasan dari otoritas resmi.
Jika ada tawaran yang terlalu indah untuk menjadi kenyataan, maka besar kemungkinan itu memang bukan kenyataan. Media sosial bisa menjadi tempat belajar dan bertumbuh, tapi juga bisa jadi ladang jebakan yang licin jika kita tak hati-hati. Jangan hanya tergiur oleh testimoni dan angka keuntungan. Pertanyakan sumbernya, pelajari logikanya, dan pastikan legalitasnya.
Lebih baik belajar investasi dari dasar, perlahan tapi pasti, daripada terjebak dalam lingkaran penipuan yang ujung-ujungnya hanya membawa kerugian. Jangan biarkan mimpi keuangan hancur hanya karena iming-iming kilat yang ternyata palsu.