Example floating
Example floating
Example 728x250
Sosial dan UmumSPKT

Influencer Promosikan Robot Trading, Ribuan Orang Jadi Korban

6
×

Influencer Promosikan Robot Trading, Ribuan Orang Jadi Korban

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Di era media sosial, kata-kata seorang influencer bisa lebih kuat dari iklan di televisi. Mereka punya jutaan pengikut, aura meyakinkan, dan tampilan hidup yang tampak sukses. Sayangnya, kekuatan ini kini dimanfaatkan oleh oknum untuk menyebarkan penipuan berkedok teknologi: robot trading. Dengan janji “cuan sambil tidur” dan gaya hidup mewah yang dipamerkan, ribuan orang tertarik masuk ke dalam jebakan yang pada akhirnya menghancurkan masa depan finansial mereka.

Robot trading sejatinya adalah program algoritma yang dibuat untuk melakukan jual beli aset secara otomatis di pasar keuangan. Konsepnya terdengar canggih dan modern, sehingga sangat mudah menarik perhatian, khususnya generasi muda dan masyarakat urban yang ingin mencari penghasilan pasif tanpa harus repot belajar investasi dari nol. Inilah celah yang dimanfaatkan para pelaku—dengan menggandeng influencer sebagai wajah promosi, mereka menanamkan rasa percaya dengan sangat cepat.

CALL CENTER
Example 300x600
Kapolres Pangandaran

Influencer yang terlibat biasanya memiliki latar belakang selebritas, konten kreator finansial, hingga tokoh motivasi. Mereka mempromosikan robot trading dengan penuh keyakinan: menampilkan tangkapan layar keuntungan, membeli mobil mewah, atau memperlihatkan saldo akun yang terus naik. Tak jarang mereka membuat seminar daring atau live Instagram yang dikemas seperti kelas eksklusif, seolah-olah mereka ingin berbagi rahasia kesuksesan kepada para pengikutnya.

Bagi orang awam, sulit membedakan antara robot trading legal dan ilegal. Pelaku sering kali menyamarkan modusnya dengan menyebutnya sebagai “platform edukasi”, “sistem otomatis berbasis AI”, atau “komunitas belajar trading modern”. Padahal di balik itu, banyak yang tidak memiliki izin operasional dari OJK atau Bappebti, tidak memiliki transparansi data transaksi, dan tidak menjelaskan dengan jujur risiko kerugian.

Skemanya hampir selalu sama: peserta diminta menyetor sejumlah uang sebagai “modal”, lalu dijanjikan akan mendapatkan profit harian atau mingguan. Tak sedikit yang menjual aset atau berutang demi bergabung lebih cepat agar bisa ikut menikmati keuntungan. Pada fase awal, memang ada pengembalian modal atau keuntungan kecil yang dibayarkan secara lancar—ini dilakukan sebagai pancingan. Influencer pun semakin gencar membuat konten, menunjukkan bahwa “semua ini nyata”.

Namun, ketika jumlah peserta dan dana yang masuk mencapai titik tertentu, sistem mulai kolaps. Server platform tiba-tiba tidak bisa diakses, dana tidak bisa ditarik, dan admin grup menghilang. Influencer yang semula vokal pun perlahan diam, menghapus postingan, dan mengaku sebagai “korban juga”. Dalam banyak kasus, pihak influencer berdalih bahwa mereka hanya mempromosikan, bukan pemilik platform, dan tidak bertanggung jawab atas kerugian peserta.

Korban penipuan robot trading bisa mencapai ribuan orang, dengan total kerugian ratusan miliar rupiah. Sebagian besar dari mereka tidak memahami sistem trading, tidak mengecek legalitas platform, dan terlalu percaya pada tokoh publik yang selama ini mereka idolakan. Beberapa bahkan merasa bersalah pada diri sendiri karena percaya begitu saja, padahal tanda-tanda penipuan sudah mulai terlihat sejak awal: return yang terlalu tinggi, tidak ada akses real-time terhadap transaksi, dan semua kendali sistem hanya ada pada satu pihak.

Yang lebih menyedihkan, banyak korban yang berusia produktif, bahkan mahasiswa dan pekerja baru yang sedang giat membangun fondasi keuangan. Harapan mereka untuk mendapat “jalan pintas” ke arah kebebasan finansial justru berubah menjadi tumpukan utang, stres berat, dan trauma mendalam. Tak sedikit juga yang terpecah hubungan keluarga dan pertemanan akibat mengajak orang terdekat untuk ikut bergabung.

Penipuan berbasis robot trading ini menunjukkan betapa pentingnya literasi finansial digital di zaman serba online. Masyarakat harus belajar membedakan antara inovasi dan manipulasi. Tidak semua teknologi baru menjanjikan kejujuran, dan tidak semua tokoh publik memiliki integritas dalam apa yang mereka promosikan. Bahkan, di balik senyum hangat dan caption motivasional, bisa saja tersembunyi jebakan licik yang merugikan banyak orang.

Penegakan hukum terhadap penipuan jenis ini masih berjalan lambat. Platform yang digunakan sering kali berbasis luar negeri, dan aliran dana sulit dilacak. Namun demikian, langkah-langkah awal seperti pemblokiran situs, pembekuan rekening, hingga pelaporan ke pihak berwajib tetap harus dilakukan. Yang tidak kalah penting adalah menyebarkan kesadaran: bahwa investasi tidak pernah seindah yang ditampilkan dalam satu postingan Instagram.

Masyarakat harus lebih kritis terhadap konten promosi dari influencer. Tanyakan: apakah mereka menunjukkan data yang bisa diverifikasi? Apakah produk yang ditawarkan memiliki izin resmi? Dan apakah mereka akan bertanggung jawab jika sesuatu terjadi?

Ke depan, semoga regulasi makin ketat, masyarakat makin waspada, dan para influencer lebih berhati-hati menggunakan pengaruhnya. Karena dalam dunia digital hari ini, satu video bisa membuat jutaan orang percaya—dan sekaligus, bisa menjerumuskan ribuan ke dalam jurang kerugian.

Example 468x60
Example 120x600
Example 468x60

Komentar