Di era media sosial yang serba terbuka, pertemanan lintas negara bukan lagi hal luar biasa. Banyak orang yang merasa bangga ketika mendapat perhatian dari orang asing, apalagi jika dia mengaku sebagai anggota militer negara adidaya seperti Amerika Serikat. Namun di balik pesona seragam dan sapaan romantis berbahasa Inggris, bisa tersembunyi salah satu modus penipuan cinta paling kejam dan licik: mengaku sebagai tentara asing demi menipu secara emosional dan finansial.
Modus ini sering menyasar perempuan yang sedang dalam masa rentan—seperti janda muda, ibu tunggal, atau wanita yang baru mengalami kehilangan. Pelaku mengincar mereka melalui media sosial, aplikasi kencan internasional, bahkan grup daring yang tampaknya biasa saja. Dengan foto pria gagah berbaju tentara, mereka mulai membangun komunikasi yang penuh perhatian dan kasih sayang.
Dalam waktu singkat, pelaku menjalin hubungan yang terkesan serius. Mereka mengaku sedang bertugas di daerah konflik, tidak punya keluarga, dan mencari seseorang yang bisa menjadi tempat pulang. Kata-kata manis disusun rapi, membuat korban merasa dihargai dan dicintai. Perlahan tapi pasti, kedekatan emosional pun terbangun, menciptakan ikatan yang membuat korban merasa spesial.
Setelah kepercayaan tumbuh, permintaan tak biasa mulai muncul. Biasanya dimulai dari janji untuk datang ke Indonesia atau mengirimkan paket mahal sebagai tanda cinta. Tapi kemudian muncul alasan: paket tertahan di bea cukai, atau ia butuh biaya izin cuti dari militer. Semua alasan ini dibalut dengan bahasa cinta dan rayuan yang membuat korban ingin membantu.
Pelaku bahkan bisa menciptakan skenario rumit seperti menunjukkan dokumen palsu, kwitansi pengiriman, dan identitas militer palsu. Semua dilakukan demi meyakinkan bahwa kisah mereka nyata. Korban yang terlanjur percaya akhirnya mentransfer sejumlah uang dengan harapan akan segera bertemu atau menerima hadiah mewah yang dijanjikan.
Sayangnya, semua itu hanya ilusi. Setelah uang dikirim, komunikasi perlahan memudar. Pelaku tiba-tiba sulit dihubungi, atau bahkan memblokir akun korban. Yang tersisa hanyalah rasa hancur, malu, dan kerugian finansial yang tidak sedikit. Tidak sedikit korban yang akhirnya terpuruk secara mental akibat perasaan tertipu oleh seseorang yang mereka kira tulus mencintai.
Kasus seperti ini menunjukkan bagaimana manipulasi psikologis bisa digunakan dengan sangat halus dan sistematis. Dengan memanfaatkan kisah latar belakang dramatis dan wajah gagah berseragam, pelaku mampu membungkus niat jahatnya dalam skenario cinta jarak jauh yang meyakinkan. Korban merasa hubungan mereka istimewa, padahal itu hanya sandiwara untuk mencuri uang.
Agar tidak menjadi korban, penting bagi siapa pun untuk selalu skeptis terhadap hubungan yang terlalu cepat serius, apalagi jika hanya terjadi secara daring. Cek kebenaran identitas, gunakan fitur pencarian gambar, dan hindari mengirim uang kepada orang asing—tak peduli seberapa dalam ikatan emosional yang dibangun. Penipu semacam ini sangat ahli memainkan perasaan.
Masyarakat harus menyadari bahwa dunia digital bukan hanya tempat mencari relasi, tapi juga ladang bagi penipu kelas dunia untuk menjalankan aksinya. Mereka tidak segan memanfaatkan cinta dan kerinduan untuk keuntungan pribadi. Maka berhati-hatilah, karena tidak semua yang berseragam dan bersuara romantis benar-benar datang dari medan perang. Bisa jadi, mereka sedang duduk di balik layar, menghitung berapa banyak uang yang bisa digasak dari satu hati yang terluka.