Dalam masyarakat yang religius, nilai-nilai keagamaan sering menjadi landasan penting dalam menjalani kehidupan, termasuk dalam urusan ekonomi. Prinsip kejujuran, tolong-menolong, dan berbagi rezeki dianggap sebagai hal mulia yang harus dijaga. Sayangnya, justru nilai-nilai luhur inilah yang kini disalahgunakan oleh pelaku penipuan dengan membungkus skema uang berputar atau arisan bodong dalam istilah keagamaan. Mereka menciptakan kesan bahwa ikut program ini bukan hanya menguntungkan secara finansial, tapi juga sebagai bentuk ibadah dan amal.
Modus ini biasanya diawali dengan ajakan dari seseorang yang dikenal di lingkungan sosial atau keagamaan. Mereka menawarkan program “gotong royong finansial”, “komunitas ekonomi syariah”, atau “gerakan sedekah berbalas rezeki” yang diklaim halal dan berkah. Calon korban diyakinkan bahwa dana yang disetor akan digunakan untuk membantu anggota lain secara bergiliran, dan sebagai gantinya, mereka juga akan mendapatkan “rezeki balik” dalam jumlah berlipat. Sering kali, kata-kata seperti “saling bantu di jalan Allah”, “rezeki dari sedekah”, atau “ekonomi berbasis ukhuwah” menjadi daya tarik utama.
Program ini biasanya berbentuk sistem uang berputar atau ponzi — anggota baru menyetor sejumlah uang, dan dana tersebut digunakan untuk membayar “keuntungan” kepada anggota yang lebih dulu bergabung. Selama ada aliran anggota baru, sistem tampak berjalan lancar. Bahkan dalam tahap awal, pelaku sengaja membayar beberapa peserta dengan tepat waktu untuk menumbuhkan kepercayaan dan menciptakan testimoni positif. Banyak peserta yang kemudian mengajak teman, saudara, bahkan komunitas pengajian untuk ikut serta karena merasa ini adalah kegiatan yang baik dan menguntungkan.
Namun seiring waktu, ketika jumlah anggota baru mulai berkurang dan arus uang melambat, skema mulai retak. Pembayaran menjadi tersendat, pelaku menghindar, dan komunikasi dalam grup dibatasi. Saat peserta mulai menuntut kejelasan, pelaku berdalih bahwa rezeki harus disertai dengan kesabaran, atau menyalahkan peserta yang “kurang ikhlas” sehingga aliran berkat tertutup. Beberapa bahkan menggunakan ayat atau dalil agama secara keliru untuk meredam kritik dan menghindari tanggung jawab.
Korban dari skema ini tidak hanya mengalami kerugian finansial, tetapi juga luka emosional yang dalam. Mereka merasa tertipu dalam nama agama — sesuatu yang selama ini dijunjung tinggi sebagai pelindung moral. Rasa bersalah, malu, hingga kehilangan kepercayaan terhadap sesama kerap menghantui. Lebih tragis lagi, dalam beberapa kasus, korban yang sudah mengalami kerugian justru disalahkan karena dianggap kurang yakin atau tidak cukup berdoa.
Skema uang berputar seperti ini sejatinya telah lama dilarang, baik oleh hukum negara maupun oleh fatwa keagamaan. Namun dengan kemasan yang dilapisi jargon keagamaan dan dibalut narasi tolong-menolong, modus ini terus berevolusi dan menyasar komunitas-komunitas yang rentan, terutama mereka yang mencari solusi ekonomi secara instan dan ingin tetap berada di jalur “syariah”.
Untuk mencegahnya, masyarakat harus mulai memahami bahwa istilah agama tidak serta-merta membuat suatu program menjadi sah dan aman. Transparansi, legalitas, serta struktur bisnis yang jelas tetap harus menjadi dasar pertimbangan. Setiap program yang menjanjikan keuntungan cepat dengan modal kecil dan tanpa risiko adalah tanda bahaya, apalagi jika didesak untuk merekrut anggota baru demi mendapatkan hasil.
Para tokoh agama dan komunitas keagamaan juga punya peran besar dalam memberi edukasi kepada jamaahnya. Jangan sampai nilai-nilai spiritual dimanipulasi demi keuntungan oknum yang tidak bertanggung jawab. Edukasi finansial berbasis nilai kejujuran, amanah, dan tanggung jawab harus menjadi bagian dari pengajian atau kegiatan keagamaan, agar masyarakat tak mudah terbujuk oleh narasi yang hanya tampak mulia di permukaan.
Mengaitkan agama dengan penipuan adalah bentuk pelanggaran ganda: melukai dompet dan iman sekaligus. Maka berhati-hatilah terhadap program yang menjanjikan “berkah” dengan cara instan. Sebab dalam ajaran mana pun, keberkahan sejati tidak datang dari jebakan manis yang menipu, melainkan dari usaha sungguh-sungguh, kejujuran, dan keberanian untuk berkata tidak pada tipu daya yang membungkus dirinya dalam nama suci.