Kisah tentang perempuan yang berjuang sendiri setelah ditinggal pasangan sering kali menggugah simpati. Di tengah masyarakat yang masih lekat dengan nilai kekeluargaan, cerita seperti ini dapat dengan mudah mengetuk hati siapa pun. Banyak orang merasa terpanggil untuk membantu, memberikan dukungan moral, bahkan menyumbang secara finansial. Namun di balik wajah sedih dan kalimat penuh air mata, kini muncul modus penipuan baru yang menyamar dalam bentuk penderitaan. Pelaku mengaku sebagai perempuan yang ditinggal suami demi menyentuh simpati dan menipu dengan cara halus namun mematikan.
Modus ini marak muncul di platform media sosial dan grup komunitas. Pelaku akan membangun identitas sebagai ibu rumah tangga yang ditinggal suami secara mendadak — entah karena meninggal, kabur dengan wanita lain, atau dipenjara karena kasus tertentu. Ia lalu menceritakan kesulitan hidupnya: anak-anak yang harus dibiayai sekolah, tunggakan kontrakan, dan kebutuhan harian yang tak bisa dipenuhi. Semua kisah ini ditulis atau disampaikan dengan nada haru, seolah-olah berasal dari seseorang yang benar-benar sedang terpuruk.
Pelaku juga kerap menyertakan foto anak kecil, rumah reyot, bahkan bukti tagihan listrik atau sekolah untuk meyakinkan cerita. Tak jarang, dia aktif berdiskusi di forum atau grup sosial, menjawab komentar dengan sopan, dan perlahan-lahan membangun reputasi sebagai “korban keadaan” yang sedang berusaha bangkit. Ini dilakukan secara konsisten dan terencana, bukan sekadar permintaan mendadak. Dengan pendekatan seperti ini, korban tidak menyadari bahwa mereka sedang ditarget secara emosional.
Setelah berhasil memancing simpati, pelaku mulai menyisipkan permintaan bantuan. Tidak langsung besar, melainkan bertahap. Mulai dari minta pulsa karena katanya HP-nya digunakan untuk melamar kerja, kemudian minta biaya transport untuk antar anak ke sekolah, hingga akhirnya meminta transfer uang tunai untuk “sekali ini saja”. Semakin korban memberi, semakin banyak alasan yang digunakan pelaku untuk meminta lagi. Dan biasanya, pelaku tidak hanya menarget satu orang, tetapi banyak sekaligus — menyebarkan cerita serupa dengan versi sedikit berbeda ke komunitas berbeda pula.
Begitu korban mulai curiga atau bertanya lebih dalam, pelaku biasanya menghilang. Akun dinonaktifkan, nomor telepon tak bisa dihubungi, dan semua jejak digital lenyap. Belakangan diketahui, banyak dari foto dan cerita yang digunakan adalah hasil curian dari internet, atau manipulasi digital semata. Pelaku sebenarnya tidak berada dalam kesulitan apa pun, melainkan hanya menyamar untuk meraih keuntungan dengan cara licik — menggunakan penderitaan palsu sebagai tameng untuk mencuri empati dan uang.
Yang membuat modus ini sangat menyakitkan adalah dampak psikologis yang ditinggalkan. Korban merasa dikhianati, bukan hanya secara materi, tetapi secara perasaan. Mereka memberi karena percaya, karena tergerak ingin membantu sesama, bukan karena bodoh. Tapi justru kepercayaan inilah yang dimanfaatkan dengan kejam. Dan akibatnya, mereka menjadi lebih kaku, enggan membantu di lain waktu, bahkan kepada orang yang benar-benar butuh bantuan.
Untuk menghindari jebakan semacam ini, kita harus belajar menyeimbangkan empati dengan verifikasi. Jangan pernah tergesa memberikan bantuan hanya karena merasa kasihan. Lakukan pengecekan sederhana: cari tahu siapa orang tersebut, apakah dia dikenal di komunitas yang sama, apakah ceritanya konsisten, dan apakah ada tanda-tanda manipulasi emosional berulang. Waspadai juga akun-akun yang baru dibuat, terlalu aktif di grup bantuan, dan memiliki pola cerita yang seolah sengaja ditulis untuk menarik simpati.
Bantuan harus tetap mengalir, tapi bukan untuk para pelaku manipulasi. Karena jika kita membiarkan penipuan berkedok penderitaan ini terus terjadi, maka yang paling dirugikan bukan hanya donatur, tetapi orang-orang jujur yang benar-benar sedang berjuang di tengah kesulitan. Mereka akan kehilangan kepercayaan publik karena ulah segelintir penipu.
Di dunia digital yang semakin terbuka, kita tidak bisa lagi hanya mengandalkan hati untuk menolong sesama. Hati yang tulus harus berjalan berdampingan dengan akal yang waspada. Dengan begitu, kita bisa tetap membantu — tanpa harus menjadi korban dari kebaikan kita sendiri.