Crowdfunding atau penggalangan dana publik untuk membiayai proyek kreatif, bisnis rintisan, hingga usaha sosial telah menjadi tren positif dalam dunia digital. Namun, di balik semangat kolaboratif ini, muncul penipuan yang mengatasnamakan pengumpulan dana untuk startup, di mana pelaku menggunakan platform daring atau situs palsu untuk menarik uang dari publik, lalu membawa lari seluruh dana tanpa realisasi usaha yang dijanjikan.
Modus ini sering dimulai dari narasi yang sangat meyakinkan. Pelaku menciptakan cerita tentang sebuah startup inovatif—misalnya di bidang teknologi, pertanian digital, logistik, atau kesehatan—yang disebut sedang mencari suntikan dana dari masyarakat untuk memperluas operasional. Mereka menggunakan desain visual profesional, video presentasi yang menarik, dan roadmap bisnis yang terlihat realistis. Bahkan, beberapa menggunakan tokoh-tokoh rekaan yang seolah-olah merupakan alumni universitas ternama atau mantan profesional di perusahaan besar.
Proyek mereka biasanya diunggah ke platform crowdfunding publik atau melalui situs mandiri yang tampak kredibel. Mereka menyebut target pendanaan, menjanjikan imbal hasil atau pembagian keuntungan, dan mencantumkan jadwal pelaporan rutin untuk para investor. Sayangnya, setelah dana berhasil terkumpul—yang bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah—pelaku menghilang begitu saja. Situs mati, kontak tak bisa dihubungi, dan para “donatur” atau “pemodal awal” tidak pernah menerima laporan atau pengembalian apa pun.
Dalam banyak kasus, korban baru sadar tertipu setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan tanpa kabar dari penyelenggara proyek. Laporan ke pihak berwajib pun menjadi sulit, karena tidak ada kontrak resmi atau perjanjian hukum yang mengikat. Bahkan ketika crowdfunding dilakukan melalui platform publik, sering kali pelaku menggunakan identitas palsu, menyulitkan proses pelacakan dan penegakan hukum.
Yang membuat penipuan ini begitu berbahaya adalah kemampuannya menyasar masyarakat berpendidikan dan melek teknologi. Banyak korban adalah generasi muda yang ingin ikut serta dalam geliat startup dan berharap mendapat keuntungan sekaligus berkontribusi pada proyek yang mereka anggap bermanfaat. Padahal, pelaku hanya menjual cerita dan ilusi yang dibungkus sedemikian rupa agar tampak seolah-olah mereka adalah pebisnis visioner.
Untuk menghindari jebakan seperti ini, masyarakat perlu memahami bahwa crowdfunding investasi berbeda dari crowdfunding amal atau sosial. Investasi memerlukan dasar hukum yang kuat, seperti akta perusahaan, prospektus, laporan keuangan, dan kontrak pembagian hasil yang jelas. Jika sebuah proyek mengaku sebagai startup tapi tidak memiliki legalitas, struktur manajemen, atau rekam jejak yang bisa diverifikasi, maka besar kemungkinan itu hanya penipuan yang dikemas dengan narasi canggih.
Gunakan hanya platform crowdfunding yang diawasi oleh OJK atau Kominfo, dan hindari mengirim dana ke rekening pribadi atau melalui jalur informal. Periksa dulu siapa pendirinya, apakah benar-benar memiliki pengalaman atau sekadar mencatut nama besar. Dan yang paling penting: jangan berinvestasi hanya karena cerita menarik atau desain yang terlihat profesional.
Dana crowdfunding seharusnya menjadi alat untuk mengembangkan ide besar bersama, bukan alat bagi penipu untuk mengeruk keuntungan lewat harapan palsu. Maka, sebelum ikut urunan, pastikan semua aspek legal dan logika bisnisnya masuk akal. Di era digital, bukan tampilan yang menentukan kebenaran—tetapi transparansi, izin hukum, dan integritas data yang bisa diuji.