Kemajuan teknologi komunikasi yang memungkinkan interaksi personal dengan mudah ternyata tidak hanya digunakan untuk mempererat hubungan sosial, tetapi juga dimanfaatkan oleh pelaku penipuan. Salah satu modus terbaru yang kian marak adalah penyebaran cerita pilu secara langsung melalui chat pribadi, yang dibumbui kisah menyedihkan dan permintaan bantuan finansial, padahal semuanya hanyalah tipu daya.
Pelaku biasanya memulai dengan menyapa target melalui aplikasi perpesanan seperti WhatsApp, Telegram, atau bahkan Instagram dan Facebook Messenger. Mereka mengaku sebagai orang asing yang sedang dalam kesulitan, atau kadang menyamar sebagai kenalan jauh atau teman lama. Dalam beberapa kasus, pelaku terlebih dahulu memantau aktivitas target di media sosial untuk mencari celah dalam mendekati secara emosional.
Setelah berhasil menghubungi korban, pelaku mulai menyampaikan cerita yang dirancang untuk menggugah simpati. Misalnya, mereka mengaku baru saja kehilangan anggota keluarga, mengalami kecelakaan, tidak bisa membayar biaya rumah sakit, atau harus menyelamatkan anaknya dari penyakit kronis. Untuk mendukung cerita, penipu melampirkan foto-foto yang terlihat nyata: wajah menangis, tubuh yang terluka, atau kamar rumah sakit. Padahal semua gambar itu seringkali diambil dari internet atau akun publik tanpa izin.
Yang membuat modus ini sangat efektif adalah pendekatannya yang personal dan privat. Korban merasa terlibat secara emosional karena cerita disampaikan langsung kepada mereka, bukan dalam bentuk pesan massal. Rasa empati dan keinginan untuk membantu membuat banyak orang terburu-buru mentransfer uang tanpa memverifikasi cerita terlebih dahulu.
Setelah dana dikirim, pelaku biasanya masih terus meminta bantuan tambahan dengan dalih biaya tidak cukup atau muncul kebutuhan mendesak baru. Ketika korban mulai curiga, pelaku akan menghilang begitu saja—menghapus akun, memblokir kontak, atau mengganti identitas. Uang yang telah dikirim pun lenyap tanpa jejak.
Agar tidak menjadi korban penipuan jenis ini, penting untuk selalu:
- Bersikap skeptis terhadap cerita dramatis yang tiba-tiba muncul dari orang tidak dikenal.
- Melakukan pencarian balik terhadap foto atau informasi yang diberikan, untuk memastikan keasliannya.
- Tidak memberikan bantuan dalam bentuk uang sebelum mengetahui identitas dan latar belakang secara jelas.
- Memutus komunikasi jika permintaan mulai memaksa atau mengarah ke desakan emosional yang tidak wajar.
Penipu yang menggunakan cerita pilu melalui chat pribadi sangat lihai dalam memanipulasi psikologis korban. Mereka tahu kapan harus membuat simpati, kapan harus memancing rasa bersalah, dan bagaimana membuat korban merasa bahwa bantuan kecil dapat menyelamatkan hidup seseorang. Padahal, semua itu hanyalah akting digital yang dirancang untuk merampas uang dari empati kita.
Dalam dunia yang semakin terkoneksi, kepekaan sosial perlu dilengkapi dengan ketajaman logika. Jangan biarkan ruang pribadi kita di media digital menjadi ladang empuk bagi penipu. Berhati-hatilah terhadap setiap pesan pribadi yang menyentuh hati—karena tidak semua tangisan itu nyata, dan tidak semua permintaan itu tulus.