Sistem hukum pidana Indonesia mengenal delik aduan sebagai pembatas wewenang negara untuk menuntut. Di antaranya, Delik Aduan Relatif adalah konsep unik yang mengubah delik biasa menjadi delik aduan hanya karena adanya hubungan kekeluargaan erat antara pelaku dan korban.
Delik Aduan Relatif berlaku bersyarat. Tindak pidana seperti pencurian, penggelapan, atau penipuan umumnya dapat langsung Jaksa tuntut. Namun, jika kejahatan terjadi di antara anggota keluarga inti, seperti suami istri atau anak terhadap orang tua, hukum memberikan hak veto penuntutan kepada korban.
Penerapan delik relatif bertujuan melindungi keharmonisan rumah tangga dan ranah privat. Negara tidak ingin mencampuri urusan internal keluarga secara berlebihan, sebab proses pidana seringkali dapat merusak hubungan keluarga secara permanen. Oleh karena itu, hukum menyerahkan keputusan penuntutan sepenuhnya kepada korban.
Contoh utamanya adalah pencurian dalam lingkungan keluarga (Pasal 367 KUHP). Jika seorang anak mencuri uang orang tuanya, polisi tidak dapat memproses tanpa aduan resmi orang tua. Hukum menganggap, jika keluarga memilih memaafkan atau menyelesaikannya internal, itu lebih baik daripada memenjarakan anggota keluarga sendiri.
Karakteristik penting delik ini adalah sifatnya yang dapat dipecah (splitbaar). Jika ada beberapa pelaku, korban dapat memilih hanya mengadukan pelaku luar dan mengecualikan anggota keluarganya. Ini berbeda dengan delik aduan absolut yang mewajibkan penuntutan terhadap semua pelaku.