Penipuan lewat telepon kini tidak hanya menyasar orang dewasa, tetapi juga mulai menarget anak-anak sekolah. Dengan memanfaatkan celah kurangnya pengalaman dan literasi digital, pelaku dengan mudah membujuk atau mengancam pelajar untuk mengikuti perintah mereka melalui panggilan suara maupun chat.
Modus yang digunakan beragam, mulai dari mengaku sebagai guru atau petugas sekolah, hingga berpura-pura sebagai orang tua teman yang meminta bantuan. Dalam beberapa kasus, pelaku mengatakan bahwa orang tua si anak mengalami kecelakaan dan meminta segera mengirim pulsa atau uang sebagai “biaya darurat”.
Anak-anak yang belum memahami dunia penipuan digital cenderung panik dan langsung menuruti instruksi pelaku. Beberapa bahkan langsung mentransfer uang tabungan mereka, mengirimkan kode OTP, atau memberikan akses akun media sosial dan data penting lainnya.
Pelaku juga kerap mengintai aktivitas anak di media sosial. Mereka mengumpulkan informasi pribadi seperti nama lengkap, sekolah, hobi, dan teman terdekat. Dengan informasi ini, mereka dapat menyusun cerita yang meyakinkan dan sulit dibantah oleh anak-anak yang belum paham soal privasi digital.
Kasus penipuan ini bisa berujung serius. Selain kerugian materi, anak bisa mengalami trauma psikologis karena merasa bersalah, tertipu, atau malu untuk bercerita ke orang tua. Beberapa anak bahkan memilih menyembunyikan kejadian tersebut hingga akhirnya terungkap dari laporan bank atau tagihan tidak wajar.
Oleh karena itu, penting bagi orang tua dan guru untuk membekali anak dengan pemahaman dasar mengenai keamanan digital. Anak harus tahu bahwa tidak boleh sembarangan mempercayai telepon dari orang yang tidak dikenal, apalagi yang meminta data pribadi, uang, atau janji bertemu di luar pengawasan.
Sekolah juga bisa berperan dengan memberikan edukasi tentang modus-modus penipuan kepada murid secara rutin, baik dalam bentuk seminar, buku panduan, atau simulasi. Anak-anak harus diberi ruang untuk bertanya dan berdiskusi agar mereka bisa mengenali tanda-tanda bahaya sejak dini.
Teknologi memang memudahkan komunikasi, tapi juga membuka celah bagi pelaku kejahatan. Dengan kesadaran bersama antara anak, orang tua, dan sekolah, risiko penipuan terhadap pelajar bisa ditekan semaksimal mungkin.