Promosi kreatif dalam dunia pemasaran memang bukan hal baru. Dalam persaingan bisnis yang ketat, banyak pelaku usaha menawarkan berbagai gimmick untuk menarik perhatian konsumen. Namun akhir-akhir ini, muncullah sebuah modus baru yang mencampurkan strategi pemasaran dan penipuan secara halus: program “beli barang dapat saham”. Sepintas terdengar menarik dan menguntungkan, padahal di baliknya tersimpan skema manipulatif yang merugikan banyak orang, terutama mereka yang minim literasi keuangan.
Modus ini biasanya dijalankan oleh toko online atau perusahaan rintisan yang mengaku sebagai pelaku ekonomi modern. Mereka menawarkan produk-produk tertentu — bisa berupa gadget, perlengkapan rumah tangga, hingga makanan kemasan — dengan harga yang sedikit lebih tinggi dari pasar. Sebagai kompensasi, konsumen dijanjikan akan mendapatkan “saham” perusahaan secara cuma-cuma setiap kali melakukan pembelian. Iming-imingnya sederhana: belanja seperti biasa, tapi sekaligus menjadi pemilik perusahaan dan ikut menikmati keuntungannya.
Konsumen yang belum memahami cara kerja saham secara benar tentu merasa tertarik. Mereka membayangkan bahwa setiap pembelian akan membawa dua keuntungan: manfaat barang dan potensi dividen dari perusahaan. Tidak sedikit yang akhirnya belanja berkali-kali, mengajak teman, bahkan mempromosikan sendiri program tersebut karena merasa menjadi bagian dari “komunitas investor”. Apalagi perusahaan sering menyertakan istilah-istilah seperti “co-founder consumer”, “pemilik bersama”, atau “ekonomi partisipatif” yang terdengar keren dan meyakinkan.
Namun saat dicermati lebih dalam, tidak ada bukti bahwa konsumen benar-benar mendapatkan saham. Mereka tidak menerima sertifikat kepemilikan, tidak tercatat di OJK sebagai pemegang efek, dan tidak bisa menjual atau mentransfer saham yang katanya dimiliki. Bahkan tidak ada penjelasan sahih mengenai struktur perusahaan, laporan keuangan, atau hak suara sebagai pemilik. Istilah “saham” hanya digunakan sebagai alat marketing, tanpa dasar legal apa pun.
Ketika konsumen mulai bertanya atau menagih hak mereka sebagai “pemegang saham”, perusahaan akan berdalih bahwa saham yang dimaksud bukanlah saham dalam arti sebenarnya, melainkan bentuk poin loyalitas atau komitmen jangka panjang yang baru akan bernilai jika perusahaan sukses besar. Mereka juga akan merujuk pada “aturan internal” yang kabur dan tak pernah dijelaskan sejak awal. Pada titik ini, banyak konsumen mulai sadar bahwa mereka telah dibujuk dengan janji palsu yang dibungkus kemasan bisnis modern.
Yang lebih berbahaya, perusahaan seperti ini sering kali menghilang setelah menghimpun cukup banyak transaksi. Situs web mendadak tidak aktif, layanan pelanggan tak bisa dihubungi, dan dana promosi dialihkan ke proyek lain yang tak jelas. Konsumen yang merasa dirugikan pun kesulitan mengambil langkah hukum, karena tidak ada kontrak investasi yang sah, dan bukti kepemilikan saham yang dijanjikan tidak pernah ada sejak awal.
Penipuan ini memanfaatkan minimnya pemahaman masyarakat tentang instrumen keuangan. Banyak orang belum bisa membedakan antara saham yang sah dan sekadar istilah promosi. Pelaku penipuan melihat peluang ini, dan dengan menggabungkan jargon bisnis modern dan skema pemasaran viral, mereka menciptakan perangkap yang rapi namun berbahaya.
Untuk itu, penting bagi masyarakat untuk tidak mudah percaya pada tawaran yang mencampur aduk konsep investasi dan konsumsi. Saham adalah instrumen yang tunduk pada regulasi, memiliki struktur kepemilikan yang jelas, serta hak dan kewajiban hukum bagi pemiliknya. Tidak ada konsep membeli produk lalu otomatis jadi pemilik perusahaan, kecuali melalui skema yang benar-benar diatur secara resmi.
Pemerintah dan otoritas keuangan pun perlu merespons dengan tegas terhadap praktik semacam ini. Penggunaan istilah “saham” untuk promosi palsu adalah bentuk penyalahgunaan istilah keuangan yang bisa menyesatkan publik. Edukasi keuangan harus diperluas, agar masyarakat tidak hanya tahu bagaimana bertransaksi, tapi juga memahami hak-hak mereka sebagai konsumen sekaligus calon investor.
Modus “beli barang dapat saham” adalah cerminan dari bagaimana semangat kewirausahaan masyarakat dimanfaatkan untuk keuntungan sepihak. Maka dari itu, di tengah semangat ekonomi digital dan partisipatif, kita harus tetap berpijak pada prinsip kehati-hatian dan logika. Jangan sampai keinginan untuk maju justru membawa kita jatuh ke dalam jurang penipuan yang dibalut dengan mimpi kepemilikan semu.