Di tengah tren semangat berbisnis di kalangan anak muda, muncul fenomena baru yang sangat menggoda: tawaran kolaborasi usaha dengan sistem bagi hasil yang menggiurkan. Pelaku penipuan menyamar sebagai pengusaha sukses atau mentor bisnis dan menawarkan kerja sama yang tampak profesional. Mereka menjanjikan keuntungan hingga 30–50 persen per bulan hanya dengan menyetorkan sejumlah modal. Konsepnya tampak modern dan kekinian—mengusung istilah seperti crowd-investing, startup project, atau kemitraan strategis. Namun, di balik semua itu, hanya ada satu tujuan: menguras tabungan korban lewat tipu daya yang manis dan sistematis.
Penawaran biasanya dimulai melalui media sosial, khususnya Instagram, LinkedIn, dan TikTok. Pelaku kerap menampilkan gaya hidup yang glamor: berkantor di co-working space bergaya, menghadiri event bisnis, dan memperlihatkan slip transfer puluhan juta dari “hasil usaha” mereka. Di balik semua kemewahan itu, mereka membangun citra sebagai entrepreneur yang sedang berkembang dan mengajak siapa pun yang tertarik untuk “tumbuh bersama”.
Para korban, yang kebanyakan anak muda ambisius dan baru merintis karier, merasa ini adalah kesempatan emas. Terlebih jika mereka belum paham bagaimana dunia usaha dan investasi berjalan dengan semestinya. Kalimat-kalimat seperti, “Kami hanya butuh mitra yang punya visi jangka panjang,” atau “Kamu bisa mulai dari kecil, dan hasilnya kita bagi adil” menjadi pengantar yang terdengar sangat meyakinkan. Rasa ingin maju, takut tertinggal, dan harapan untuk menjadi “anak muda mapan” membuat banyak orang langsung tergoda.
Skema kerjanya dibuat terlihat masuk akal. Misalnya, pelaku mengaku sedang menjalankan bisnis dropship, ekspor produk lokal, jasa pemasaran digital, hingga budidaya komoditas tertentu seperti madu, kopi, atau tanaman hias. Korban cukup menanam modal sejumlah tertentu—biasanya antara Rp1 juta hingga Rp20 juta—dan akan mendapatkan bagi hasil tiap minggu atau bulan. Tak jarang, pelaku membuat dokumen perjanjian di atas materai, memberi laporan perkembangan “usaha”, bahkan mengadakan video call untuk memberikan kesan transparan.
Pada fase awal, pelaku benar-benar memberikan bagi hasil kecil sebagai bentuk validasi sistem. Korban pun makin yakin, dan mulai menambah modal atau mengajak teman lain bergabung. Di sinilah perangkap mulai menutup: begitu dana terkumpul besar dan cukup banyak orang sudah terlibat, pelaku mulai mengulur waktu. Pembayaran tertunda, alasan teknis muncul—misalnya partner kabur, gudang terbakar, proyek diundur karena pandemi, atau akun bisnis mereka diretas. Janji pun berubah menjadi kabar samar yang terus ditunda.
Saat korban mulai menanyakan kepastian dan mencoba menarik dana, pelaku menghindar. Nomor telepon diblokir, akun media sosial berganti nama, dan kantor yang pernah dikunjungi korban mendadak kosong. Bahkan beberapa pelaku mengganti identitas digital sepenuhnya dan menghilang tanpa jejak. Yang tersisa hanyalah korban-korban yang saling curiga, saling menyalahkan, atau pasrah menerima kenyataan pahit: tabungan mereka habis tanpa bekas.
Lebih menyakitkan, banyak korban yang sebelumnya menggunakan dana pinjaman online, uang kuliah, bahkan dana darurat keluarga demi “kesempatan emas” tersebut. Harapan untuk mandiri secara finansial berubah menjadi utang, tekanan mental, bahkan konflik keluarga. Tidak sedikit yang merasa malu, enggan mengaku tertipu, dan memilih diam dalam derita.
Skema seperti ini sangat sulit dilacak aparat karena pelaku sering kali menggunakan rekening orang lain, nomor tak terdaftar atas nama mereka, dan platform komunikasi yang terenkripsi. Selain itu, karena banyak kerja samanya tidak berbentuk legal formal—tanpa akta notaris atau izin usaha—maka proses hukum menjadi panjang dan rumit.
Yang membuat penipuan ini makin berbahaya adalah karena pelaku bermain dengan mimpi. Mereka tahu bahwa anak muda ingin sukses cepat, ingin mandiri, ingin terlihat mampu. Mereka memanipulasi ambisi itu, mengemasnya dalam retorika motivasional, dan menjual mimpi yang tampak masuk akal. Dan karena rasa percaya diri para korban biasanya masih rapuh, mereka dengan mudah dijerat oleh bahasa-bahasa manis yang menyamar sebagai peluang.
Untuk itu, sangat penting bagi generasi muda untuk tidak hanya semangat mencari peluang, tetapi juga kritis dalam memilah mana peluang yang nyata dan mana yang penuh jebakan. Bagi hasil dalam bisnis bukan hal aneh—tapi jika dijanjikan hasil besar dalam waktu singkat tanpa risiko yang jelas, itu adalah tanda bahaya.
Sebelum menyetorkan dana, tanyakan: apakah usaha ini memiliki izin legal? Apakah ada produk atau layanan yang riil? Apakah sistem pembagian keuntungannya masuk akal secara bisnis? Dan yang paling penting: jika nanti terjadi masalah, apakah Anda tahu ke mana harus menuntut?
Menumbuhkan semangat wirausaha itu penting, tapi harus dibarengi dengan literasi finansial dan hukum yang memadai. Jangan biarkan mimpi jadi alat yang dimanfaatkan oleh penipu untuk menguras harapan kita.