Di era digital seperti sekarang, ajakan untuk ikut serta dalam kegiatan sosial semakin sering kita temui di berbagai platform, terutama TikTok dan WhatsApp. Banyak video atau pesan yang menampilkan kisah menyentuh hati—tentang anak-anak kurang mampu yang butuh bantuan sekolah, ibu tunggal yang kesulitan biaya melahirkan, atau pembangunan panti asuhan yang konon membutuhkan uluran tangan. Diiringi musik haru dan narasi penuh empati, unggahan-unggahan ini sering mengundang ribuan hingga jutaan penonton. Sayangnya, tak sedikit dari ajakan ini ternyata hanya kedok semata—kegiatan sosial bohong yang dibuat untuk menipu dan mengambil keuntungan pribadi.
Pelaku modus ini memanfaatkan kekuatan konten viral. Mereka membuat video atau pesan berantai yang secara visual sangat meyakinkan: memperlihatkan lokasi rumah yang tampak kumuh, anak kecil yang sedang menangis, atau lansia yang sakit. Mereka menciptakan narasi sedih yang seolah-olah terjadi saat itu juga dan sedang butuh bantuan mendesak. Di akhir unggahan, mereka mencantumkan nomor rekening, e-wallet, atau link donasi yang bisa langsung diakses oleh siapa pun yang tergerak hatinya.
Di TikTok, konten semacam ini sering muncul di beranda melalui FYP (For You Page), terutama karena algoritma platform ini mudah menyebarkan video dengan interaksi tinggi. Sedangkan di WhatsApp, ajakan serupa disebarkan melalui grup keluarga, RT, hingga komunitas sekolah dan tempat ibadah. Bahkan ada yang mengklaim bahwa kegiatan sosial tersebut sudah bekerja sama dengan lembaga resmi, lengkap dengan logo dan nomor surat palsu untuk memberi kesan legalitas.
Sayangnya, banyak orang yang tersentuh langsung mengambil tindakan: menyumbang, membagikan ulang, atau bahkan mengajak orang lain untuk ikut berdonasi. Semua ini dilakukan tanpa proses verifikasi. Dan di sinilah letak bahayanya—karena dalam banyak kasus, kegiatan sosial yang diiklankan ternyata tidak pernah ada. Foto-foto yang digunakan hanyalah stok gambar dari internet, narasi hanyalah karangan bebas, dan rekening tujuan bukan milik yayasan, tapi milik pribadi pelaku.
Beberapa kasus yang lebih kompleks bahkan menggunakan wajah anak-anak sungguhan yang difoto secara diam-diam atau diambil dari unggahan pribadi orang lain. Pelaku lalu memotong konteks, menciptakan cerita sendiri, dan menyebarkannya seolah-olah itu adalah kisah nyata. Dampaknya sangat merugikan: tidak hanya secara materi bagi para donatur, tetapi juga secara psikologis bagi keluarga atau individu yang fotonya dimanfaatkan tanpa izin.
Kondisi ini menciptakan ironi yang menyedihkan. Di satu sisi, masyarakat semakin antusias untuk membantu sesama melalui media sosial. Tapi di sisi lain, semangat kebaikan itu mulai dikotori oleh kepentingan pribadi dan penipuan yang terorganisir. Tak jarang, orang-orang yang benar-benar membutuhkan bantuan justru kehilangan kesempatan karena masyarakat semakin skeptis terhadap ajakan sosial daring.
Untuk menghindari terjebak dalam kegiatan sosial palsu, masyarakat harus membiasakan diri untuk memverifikasi sebelum berdonasi. Jangan langsung percaya hanya karena sebuah video tampak sedih atau narasi terdengar menyentuh. Periksa siapa yang mengajak, cek apakah yayasan atau individu tersebut memiliki rekam jejak yang jelas, dan lihat apakah informasi mereka bisa diverifikasi secara publik. Hindari mengirimkan uang ke rekening pribadi yang tidak bisa dilacak, dan gunakan platform donasi resmi yang sudah memiliki sistem pengawasan.
Penting juga untuk tidak sembarang membagikan ajakan donasi yang belum diverifikasi. Karena satu kali pesan dibagikan, puluhan hingga ratusan orang lain bisa terjebak. Dan semakin luas penyebarannya, semakin sulit pula pelacakan dan pertanggungjawaban terhadap pelaku.
Kebaikan di era digital memerlukan disiplin dan kehati-hatian. Jangan sampai niat membantu malah menjadi celah bagi orang tak bertanggung jawab untuk memperkaya diri. Kita semua bisa tetap peduli, tetap terlibat dalam kegiatan sosial, tapi dengan satu prinsip penting: bantu dengan hati yang tulus, dan lindungi diri dengan akal yang waspada. Karena di balik layar ponsel, tak semua kisah menyentuh hati berasal dari kenyataan. Sebagian hanyalah skenario palsu yang dibuat untuk menjerat kepercayaan kita.