Di tengah dunia yang semakin dingin oleh kesibukan dan kepentingan pribadi, empati tetap menjadi salah satu kekuatan yang mampu menggerakkan manusia untuk peduli. Sayangnya, rasa empati ini sering kali menjadi sasaran empuk bagi pelaku kejahatan yang tak segan menyamar demi menguras kebaikan hati orang lain. Salah satu modus yang kini marak terjadi adalah penipuan dengan berpura-pura menjadi anak kecil yang meminta donasi bantuan, lengkap dengan cerita sedih dan bahasa polos yang mengiris hati.
Modus ini biasanya menyebar melalui pesan WhatsApp, direct message di media sosial, atau komentar di kolom unggahan publik. Pelaku menggunakan akun yang mengatasnamakan anak kecil — lengkap dengan nama lucu, foto profil anak-anak, dan gaya penulisan yang seolah tidak rapi seperti tulisan anak-anak pada umumnya. Dalam pesannya, mereka menceritakan kisah penuh penderitaan: sedang sakit, tak bisa sekolah, ditinggal orang tua, atau butuh bantuan beli alat tulis dan pakaian. Semuanya disampaikan dengan kalimat-kalimat pendek yang mengaduk emosi, bahkan kadang disisipi kata “tolong kak” atau “aku malu tapi butuh”.
Banyak orang yang awalnya tak ingin terlalu percaya, namun merasa tak tega setelah membaca ulang isi pesan tersebut. Apalagi jika si “anak kecil” juga menyertakan foto rumah yang reyot, wajah murung, atau bukti palsu seperti kartu BPJS dan surat dokter yang diedit. Korban kemudian mulai merespons, bertanya lebih lanjut, dan akhirnya menyerahkan sejumlah uang lewat transfer, dengan harapan bisa sedikit membantu.
Namun yang tidak diketahui banyak orang, sosok “anak kecil” itu sebenarnya adalah orang dewasa yang sengaja menyamar dan memanfaatkan empati publik sebagai celah penipuan. Dalam banyak kasus, satu pelaku bisa mengoperasikan puluhan akun sekaligus, menjangkau ratusan orang dalam sehari. Mereka sangat paham bagaimana cara membangun narasi menyentuh dan tahu bahwa menggunakan sosok anak-anak akan lebih sulit dicurigai atau ditolak.
Yang lebih menyedihkan, para pelaku bahkan tidak segan mencuri atau mengambil gambar anak-anak dari internet untuk memperkuat aksi mereka. Gambar anak kecil yang tidak bersalah digunakan sebagai alat untuk memancing belas kasihan, padahal foto-foto itu bisa jadi milik orang lain yang tidak tahu menahu. Ini bukan hanya kejahatan penipuan, tapi juga pelanggaran etika dan privasi yang serius.
Ketika korban sadar telah ditipu, perasaan kecewa yang muncul tak hanya soal uang yang hilang, tapi juga soal rasa percaya yang dirusak. Banyak dari mereka yang akhirnya jadi ragu untuk berdonasi lagi, meskipun ada kasus nyata yang benar-benar butuh bantuan. Kepercayaan yang rusak ini berdampak besar bagi dunia sosial, karena solidaritas menjadi terhambat oleh rasa takut dan curiga.
Mencegah penipuan dengan modus seperti ini membutuhkan verifikasi dan kewaspadaan emosional. Jika seseorang menerima permintaan donasi dari akun pribadi yang tidak dikenal, apalagi mengaku sebagai anak-anak, langkah pertama adalah jangan langsung percaya. Cek kebenaran identitas, telusuri profilnya, dan cari apakah informasi tersebut bisa diverifikasi lewat lembaga resmi, yayasan, atau pihak sekolah setempat.
Donasi yang aman sebaiknya disalurkan melalui jalur yang jelas dan terdaftar. Banyak organisasi kemanusiaan resmi yang punya prosedur transparan dan laporan berkala. Jika ingin berdonasi secara langsung, pastikan untuk bertemu atau berbicara dengan wali atau pihak yang bisa dipercaya secara langsung.
Di era digital ini, kebaikan hati pun harus disertai dengan ketegasan akal. Bukan berarti kita berhenti peduli, tapi kita harus melindungi empati kita dari mereka yang berniat menjadikan rasa kasihan sebagai ladang kejahatan. Jangan biarkan air mata palsu mengaburkan hati yang tulus. Sebab, mereka yang benar-benar membutuhkan, layak menerima bantuan dari tangan yang yakin dan pikiran yang jernih.