Kemajuan e-commerce telah membawa perubahan besar dalam pola konsumsi masyarakat. Layanan cepat, diskon menarik, dan sistem pembayaran praktis membuat belanja online menjadi pilihan utama. Namun di balik kenyamanan itu, muncul pula sisi gelap: penipuan yang mengatasnamakan platform e-commerce besar. Salah satu modus terbaru yang marak digunakan adalah penipuan berkedok survei pelanggan, di mana pelaku mengaku sebagai karyawan resmi dan meminta data pribadi dengan alasan peningkatan layanan.
Modus ini biasanya dimulai dengan pesan pribadi atau email yang tampak profesional. Penipu memperkenalkan diri sebagai bagian dari tim customer experience atau divisi pengembangan aplikasi dari e-commerce terkenal. Mereka menyampaikan bahwa perusahaan sedang melakukan survei kepuasan pelanggan, dan korban terpilih sebagai responden yang berhak mendapat hadiah atau voucher menarik setelah mengisi kuesioner singkat.
Tautan ke survei pun disertakan dalam pesan. Sekilas, halaman tersebut tampak sah: menggunakan logo perusahaan, warna korporat, dan bahasa yang sopan serta meyakinkan. Namun sebenarnya itu adalah situs palsu yang dirancang khusus untuk menjebak korban agar mengisi data pribadi. Dalam “survei”, korban diminta memasukkan nama lengkap, nomor telepon, alamat rumah, email, bahkan dalam beberapa kasus diminta nomor rekening dan foto kartu identitas.
Agar korban tidak curiga, pelaku menyisipkan pertanyaan-pertanyaan umum seperti “Seberapa puas Anda terhadap layanan pengiriman?” atau “Apa fitur favorit Anda di aplikasi?”. Setelah mengisi survei, korban dijanjikan akan menerima hadiah digital, dan di tahap akhir diminta “verifikasi” dengan memasukkan kode OTP atau login ke akun e-commerce miliknya. Di sinilah jebakan dimatangkan.
Begitu korban memberikan OTP atau login melalui tautan palsu, pelaku bisa mengambil alih akun e-commerce korban. Jika akun tersebut terhubung dengan dompet digital, kartu kredit, atau metode pembayaran lain, maka pelaku bisa langsung melakukan transaksi mencurigakan. Dalam banyak kasus, saldo korban terkuras hanya dalam hitungan menit, dan akun sulit dikembalikan karena email serta nomor pemulihan sudah diganti.
Selain itu, data pribadi yang terkumpul bisa dijual di pasar gelap atau digunakan untuk kejahatan lanjutan, seperti pengajuan pinjaman online atas nama korban, pemalsuan identitas, atau bahkan penipuan lain yang lebih masif. Satu survei palsu bisa menjadi pintu masuk berbagai bentuk pencurian digital yang merugikan secara berantai.
Banyak korban baru menyadari setelah muncul transaksi tidak dikenal atau akun mereka mendadak tidak bisa diakses. Sayangnya, karena semua informasi diberikan secara “sukarela”, pelaku sulit dilacak dan kerugian sulit dituntut secara hukum. Korban pun hanya bisa menyesali ketidakhati-hatian mereka.
Untuk menghindari modus ini, masyarakat harus meningkatkan kewaspadaan terhadap segala bentuk survei online, terutama yang mengaku dari institusi besar dan menawarkan imbalan instan. E-commerce resmi biasanya hanya melakukan survei melalui platform mereka sendiri, bukan lewat DM atau email tidak resmi. Cek kembali alamat situs survei: domain yang sah biasanya menggunakan ekstensi resmi (.com, .id) dan tidak memiliki ejaan aneh.
Jangan pernah memberikan informasi sensitif seperti OTP, PIN, atau foto identitas kepada siapapun secara online, bahkan jika mengaku dari perusahaan terkenal. Jika ragu, hubungi langsung customer service melalui jalur resmi yang tertera di aplikasi atau situs web.
Di dunia digital, pencurian tidak selalu terjadi lewat kekerasan, tetapi lewat bujuk rayu yang dirancang cerdik. Kejelian dan kehati-hatian adalah benteng terbaik untuk melindungi data pribadi dari tangan-tangan jahat yang terus mencari celah.