Di era digital yang serba terkoneksi, pertemanan masa lalu bisa dengan mudah terhubung kembali lewat media sosial. Banyak orang merasa senang ketika ada “mantan teman sekolah” yang tiba-tiba menyapa lewat pesan pribadi, membawa nostalgia, dan menyebutkan masa-masa indah di bangku pendidikan. Namun di balik sapaan ramah itu, bisa jadi tersembunyi skenario penipuan dengan modus klasik yang kini kembali marak digunakan.
Modus ini bekerja dengan cara yang sangat sederhana, tapi efektif: pelaku berpura-pura sebagai teman lama yang telah lama hilang kontak. Mereka menyapa dengan ramah, menyebut nama sekolah, tahun kelulusan, atau bahkan nama guru dan teman lain—informasi yang mudah ditemukan di media sosial. Setelah membangun kedekatan emosional, pelaku mulai menggiring percakapan ke arah tertentu: entah ingin curhat, meminta bantuan, atau mengajak kerja sama dalam “peluang usaha”.
Sasaran empuk dari modus ini adalah orang-orang yang punya kenangan kuat terhadap masa sekolah, namun tidak punya ingatan jelas tentang semua teman seangkatannya. Apalagi jika pelaku menggunakan nama umum atau menyamar sebagai teman dari angkatan lain yang pernah dikenal sekilas. Dengan pendekatan emosional dan cerita-cerita ringan yang terasa akrab, korban mulai percaya bahwa mereka benar-benar sedang berbicara dengan teman lama.
Setelah rasa percaya tumbuh, pelaku melancarkan aksinya. Mereka bisa mengaku sedang dalam kesulitan keuangan, meminta bantuan darurat, atau mengajak korban ikut investasi yang “sedang booming”. Bahkan ada yang menyamar sebagai pengusaha sukses dan menawarkan kerja sama bisnis dengan iming-iming untung besar. Tak jarang pula, pelaku menyelipkan permintaan untuk mentransfer sejumlah uang sebagai bentuk “komitmen awal”.
Yang membuat modus ini licik adalah penekanannya pada rasa nostalgia dan rasa sungkan. Banyak korban merasa tidak enak hati untuk menolak permintaan orang yang dianggap teman lama. Apalagi jika disisipkan kalimat-kalimat seperti “kamu dulu teman paling baik”, “aku cuma percaya kamu”, atau “ini bukan pinjaman kok, nanti langsung aku ganti”.
Padahal, jika ditelusuri lebih dalam, identitas pelaku biasanya fiktif. Mereka menggunakan foto profil palsu, akun media sosial tiruan, dan informasi hasil rekayasa. Karena semuanya dilakukan lewat pesan digital, korban jarang punya kesempatan untuk memverifikasi lebih lanjut, apalagi jika pelaku menghindari panggilan video atau pertemuan langsung.
Untuk menghindari modus ini, masyarakat harus mulai membiasakan diri untuk skeptis dalam nostalgia digital. Jika seseorang tiba-tiba mengaku sebagai teman lama, jangan langsung percaya hanya karena ceritanya terdengar familiar. Lakukan verifikasi mandiri, seperti bertanya detail spesifik yang hanya diketahui oleh teman asli, atau mencari validasi dari teman-teman lain di angkatan yang sama.
Selain itu, jangan pernah terburu-buru mengirim uang hanya karena merasa kasihan atau sungkan. Bantuan sebaiknya diberikan setelah benar-benar yakin kepada siapa kita memberikan, dan dalam bentuk yang aman. Hindari memberikan data pribadi atau informasi rekening kepada orang yang belum benar-benar terverifikasi identitasnya.
Modus penipuan dengan mengaku sebagai mantan teman sekolah adalah contoh nyata bahwa hubungan sosial pun bisa dijadikan celah kejahatan. Rasa percaya dan ikatan masa lalu, yang seharusnya menjadi kekuatan positif, justru bisa dieksploitasi jika kita lengah.
Maka, saat menerima pesan dari “teman lama”, berhentilah sejenak dan pikirkan: apakah ini benar orang yang dulu kita kenal, atau hanya aktor digital yang sedang memainkan peran nostalgia demi keuntungan pribadi? Karena kini, bahkan kenangan pun bisa dipalsukan demi jebakan.