Persaingan dunia kerja yang makin ketat mendorong banyak orang untuk melakukan segala cara agar bisa lolos seleksi. Sayangnya, tidak semua memilih jalan jujur. Salah satu modus penipuan yang kini semakin marak adalah pemalsuan CV (curriculum vitae) dan sertifikat keahlian untuk mengelabui bagian rekrutmen atau HRD. Aksi ini tidak hanya mencederai dunia kerja, tapi juga membahayakan operasional perusahaan serta merugikan pelamar lain yang bersaing secara sehat.
Modus ini dijalankan oleh individu maupun sindikat yang menawarkan jasa pembuatan dokumen palsu. Mereka mampu menyusun riwayat pendidikan, pengalaman kerja, hingga daftar prestasi yang sepintas tampak sah dan profesional. Bahkan, sertifikat pelatihan, lisensi profesi, dan surat rekomendasi pun bisa dengan mudah dipalsukan dengan harga tertentu.
Tujuan utamanya jelas: membuat pelamar tampak lebih layak dan unggul dibanding kandidat lainnya. Dalam banyak kasus, pelaku sengaja mengisi CV dengan pengalaman kerja fiktif di perusahaan-perusahaan terkenal, berharap bisa mengangkat nilai tawar mereka. Sertifikat kompetensi yang seharusnya diperoleh melalui pelatihan resmi atau ujian profesional pun dibuat seolah-olah sah dan terdaftar.
Yang membuat modus ini berbahaya adalah kemampuannya menipu sistem seleksi awal. Banyak perusahaan, terutama yang membuka lowongan massal atau di sektor tertentu, tidak memverifikasi secara detail setiap dokumen yang masuk. Alhasil, pelamar dengan data palsu bisa lolos ke tahap berikutnya, bahkan hingga diterima kerja.
Setelah diterima, barulah potensi masalah mulai terlihat. Karyawan yang tidak memiliki kompetensi nyata akan kesulitan menjalankan tugas. Dalam sektor-sektor seperti keuangan, teknik, atau kesehatan, ketiadaan kemampuan yang sesuai bisa berujung pada kerugian serius—baik secara materi, reputasi, maupun keselamatan kerja.
Tak hanya perusahaan yang dirugikan, tindakan ini juga menyingkirkan kandidat lain yang mungkin benar-benar layak. Mereka kalah bukan karena kurang kemampuan, tetapi karena pesaingnya membangun pencitraan lewat kebohongan. Ini menciptakan iklim kerja yang tidak sehat dan mendorong munculnya ketidakadilan dalam proses rekrutmen.
Fenomena ini juga menunjukkan bahwa masyarakat masih banyak yang tergoda jalan pintas. Daripada membangun keahlian secara bertahap, mereka lebih memilih memalsukan bukti keahlian demi hasil instan. Ada juga yang beranggapan bahwa CV hanyalah formalitas dan tak perlu sepenuhnya mencerminkan kenyataan. Padahal, integritas dalam lamaran kerja mencerminkan integritas pribadi yang akan dibawa ke tempat kerja.
Untuk melawan modus ini, HRD dan tim rekrutmen perlu lebih ketat dalam proses verifikasi. Pemeriksaan latar belakang, konfirmasi langsung ke perusahaan sebelumnya, dan cek keabsahan sertifikat dari lembaga resmi adalah langkah penting untuk menyaring kandidat yang benar-benar sesuai. Perusahaan juga dapat memanfaatkan teknologi verifikasi digital untuk menelusuri keaslian dokumen pelamar.
Bagi pencari kerja, penting untuk membangun CV berdasarkan kenyataan. Lebih baik jujur dengan pengalaman dan kemampuan yang dimiliki, daripada membangun karier di atas kebohongan yang suatu saat bisa runtuh. Dunia kerja bukan hanya soal mendapatkan posisi, tapi juga tentang mempertahankan kepercayaan.
Pemalsuan CV dan sertifikat bukan sekadar penipuan administratif. Ia adalah bentuk ketidakjujuran yang bisa menghancurkan kepercayaan, merusak sistem, dan mengorbankan banyak pihak. Maka dari itu, baik perusahaan maupun pencari kerja perlu sama-sama menjaga integritas dalam setiap proses seleksi.