Menerima telepon dari nomor tak dikenal sering kali membuat banyak orang penasaran. Namun, rasa penasaran itu bisa berubah menjadi petaka jika di ujung sambungan ternyata seorang penipu yang mengaku sebagai aparat kepolisian, lengkap dengan nada suara tegas dan intimidatif. Modus penipuan mengaku polisi melalui telepon ini makin marak terjadi dan telah menjerat banyak korban dengan berbagai dalih hukum yang dibuat-buat.
Skenarionya terlihat rapi dan dirancang untuk menimbulkan kepanikan. Pelaku menelepon dengan suara serius, lalu mengaku sebagai anggota dari Polri, kejaksaan, atau lembaga hukum lainnya. Ia menyampaikan bahwa nama korban tersangkut dalam sebuah kasus kriminal, biasanya dikaitkan dengan kasus pencucian uang, pengiriman ilegal, atau pemakaian rekening untuk tindak kejahatan. Nada ancaman langsung dilemparkan untuk membuat korban panik, dengan embel-embel “jika tidak segera ditindak, akan ada tindakan hukum atau penangkapan.”
Dalam kondisi ketakutan, korban cenderung tidak berpikir jernih. Pelaku lalu meminta korban mentransfer sejumlah uang ke rekening tertentu sebagai bentuk “jaminan hukum”, “biaya pengurusan berkas”, atau untuk “pengecekan rekening”. Jika korban ragu, pelaku sering menyodorkan nomor WhatsApp lain yang mengaku sebagai “atasan”, bahkan mengirimkan surat panggilan palsu lengkap dengan logo lembaga resmi dan tanda tangan.
Beberapa kasus melibatkan lebih dari satu orang penipu. Ada yang berperan sebagai polisi, jaksa, hingga pengacara palsu. Mereka berbicara bergantian dengan lancar, seolah-olah memang sedang menjalankan tugas resmi. Dalam situasi seperti ini, korban merasa seolah-olah benar-benar sedang dalam proses hukum dan tidak punya pilihan selain mengikuti instruksi.
Kunci keberhasilan modus ini ada pada pemanfaatan rasa takut dan ketidaktahuan hukum dari masyarakat. Tidak semua orang memahami prosedur penegakan hukum yang benar. Apalagi jika korban adalah orang tua, ibu rumah tangga, atau pekerja yang tidak terbiasa menghadapi aparat. Rasa panik membuat mereka tidak berpikir logis dan cenderung menuruti semua permintaan, bahkan jika harus menjual barang berharga untuk mentransfer uang yang diminta.
Lebih miris lagi, banyak korban merasa trauma berkepanjangan. Beberapa bahkan takut berinteraksi dengan pihak berwajib sungguhan karena pernah tertipu oleh pelaku yang mengaku sebagai aparat. Kepercayaan publik pun ikut tercoreng, padahal lembaga penegak hukum yang asli tidak pernah menggunakan metode intimidasi lewat telepon, apalagi meminta uang secara langsung.
Untuk mencegah jatuhnya korban baru, masyarakat harus memahami bahwa proses hukum tidak pernah dilakukan sepihak lewat telepon, apalagi tanpa surat resmi dan kehadiran fisik. Jika ada yang menelepon dan mengaku dari lembaga hukum, langkah terbaik adalah menutup sambungan dan langsung menghubungi instansi resmi melalui saluran yang terpercaya. Jangan pernah memberikan data pribadi, nomor rekening, atau kode OTP kepada siapapun, apalagi kepada orang yang tidak dikenal.
Nomor telepon tidak dikenal juga sebaiknya diperlakukan dengan waspada. Jika ragu, masyarakat bisa memanfaatkan aplikasi pendeteksi spam atau mengecek nomor tersebut di mesin pencari untuk melihat apakah nomor itu pernah dilaporkan sebelumnya sebagai penipuan.
Pemerintah dan lembaga keamanan digital diharapkan bisa memperkuat sistem pelaporan serta melakukan edukasi publik secara masif mengenai modus-modus penipuan berbasis identitas palsu. Masyarakat perlu diajak mengenali tanda-tanda penipuan dan tidak cepat percaya dengan klaim status, jabatan, atau logo yang disampaikan secara digital.
Di era teknologi seperti sekarang, suara di ujung telepon tidak lagi bisa dijadikan satu-satunya tolok ukur kebenaran. Siapa pun bisa menyamar jadi siapa pun. Maka, kehati-hatian dan verifikasi adalah kunci utama agar kita tidak terjerat oleh tipuan yang hanya bermodal suara dan ancaman.