Di tengah kekhawatiran orang tua terhadap biaya pendidikan yang terus meningkat, banyak yang tertarik untuk mengikuti program simpan pendidikan jangka panjang. Sayangnya, niat baik ini sering dimanfaatkan oleh pelaku penipuan yang menawarkan paket simpanan pendidikan dengan model arisan investasi, yang pada dasarnya adalah skema tak berkelanjutan dan hanya memindahkan dana antar peserta tanpa dasar usaha yang jelas.
Modus ini biasanya disebarkan secara personal atau dari mulut ke mulut, terutama di komunitas ibu-ibu, sekolah, atau grup media sosial orang tua. Penawaran disampaikan secara halus, bahwa dengan menyetorkan sejumlah uang setiap bulan—misalnya Rp300 ribu hingga Rp1 juta—orang tua akan masuk ke dalam program arisan yang berujung pada pencairan dana pendidikan anak. Untuk menarik minat, pelaku menjanjikan bahwa dana akan berkembang karena diinvestasikan ke dalam proyek tertentu, seperti properti, UMKM, atau bisnis makanan.
Namun yang sebenarnya terjadi, uang yang disetorkan peserta lama justru digunakan untuk membayar “hasil” kepada peserta yang sudah lebih dulu ikut, tanpa ada usaha riil. Skema ini bergantung sepenuhnya pada aliran dana dari anggota baru. Program tampak berjalan lancar di awal karena pelaku masih mampu membayar beberapa anggota dengan dana dari pendaftar berikutnya. Tapi begitu jumlah pendaftar baru menurun, sistem langsung runtuh, dan peserta yang belum mendapat giliran pencairan tidak bisa mengambil kembali uang mereka.
Lebih buruk lagi, skema ini sering kali tidak memiliki perjanjian tertulis. Karena dijalankan dalam komunitas yang saling percaya, transaksi dilakukan berdasarkan omongan atau pesan WhatsApp, tanpa kwitansi atau kontrak hukum. Saat terjadi kerugian, korban kesulitan untuk menuntut secara hukum karena tidak ada bukti formal. Bahkan tidak sedikit pelaku yang justru menyalahkan korban karena dianggap “tidak sabar menunggu giliran”.
Penipuan ini begitu meresahkan karena menyasar orang tua yang sebenarnya ingin menyiapkan masa depan anak. Pelaku memanfaatkan empati dan semangat kebersamaan, mengemas skema bodong dalam istilah kekeluargaan dan gotong royong. Padahal, secara struktur, ia tak berbeda dari skema ponzi atau arisan gelap, yang menjanjikan hasil besar tanpa kegiatan produktif yang jelas.
Untuk menghindarinya, masyarakat perlu memahami bahwa simpan pendidikan yang sah biasanya dikelola oleh lembaga keuangan resmi, seperti bank, perusahaan asuransi, atau institusi pendidikan yang memiliki izin usaha dan pengawasan dari OJK. Program semacam itu memiliki polis, perjanjian tertulis, jadwal pembayaran yang transparan, serta jaminan hukum yang jelas.
Jika ada pihak yang menawarkan program simpanan dengan imbal hasil tinggi tanpa risiko, tanpa struktur usaha jelas, dan hanya bergantung pada iuran peserta baru, maka itu adalah pertanda penipuan. Jangan tergiur dengan janji manis demi masa depan anak, apalagi jika semuanya hanya dibungkus kata “arisan”, “komunitas”, atau “gotong royong” tanpa dasar hukum yang kuat.
Simpanan pendidikan adalah perencanaan jangka panjang yang membutuhkan sistem keuangan yang sehat. Maka, hindari jebakan berkedok investasi komunal yang hanya mengandalkan aliran dana tanpa fondasi usaha. Jika ingin menyiapkan masa depan anak, lakukan dengan cara yang benar, aman, dan legal.