Di era teknologi digital yang semakin canggih, penggunaan avatar AI atau karakter virtual yang dibuat dengan kecerdasan buatan telah menjadi tren baru dalam dunia konten dan pemasaran. Avatar ini bisa berbicara, menyampaikan informasi, bahkan melakukan siaran langsung dengan sangat meyakinkan. Namun kecanggihan ini tidak selalu digunakan untuk tujuan positif. Kini, avatar AI mulai dimanfaatkan oleh pelaku penipuan untuk menjual produk digital fiktif atau palsu, dengan menyamar sebagai representasi resmi dari sebuah brand atau individu terpercaya.
Modus penipuan ini biasanya dimulai dari kemunculan video atau live streaming di platform seperti TikTok, Instagram, YouTube, hingga marketplace yang menggunakan avatar AI berpenampilan profesional. Dalam video tersebut, avatar memperkenalkan produk digital seperti e-book, template desain, tools editing, aplikasi premium, atau paket pelatihan online dengan harga sangat menarik—sering kali disebut “promo terbatas” atau “flash sale”.
Karena avatar terlihat “hidup” dan interaktif, banyak penonton mengira bahwa sosok tersebut benar-benar perwakilan resmi atau bahkan pemilik dari produk tersebut. Tanpa curiga, mereka mengikuti arahan untuk melakukan pembelian melalui link tertentu, mengisi data pribadi, atau melakukan transfer ke rekening yang diberikan. Sayangnya, setelah pembayaran dilakukan, produk digital tidak kunjung dikirim, atau yang diterima hanyalah file kosong dan tak berguna.
Avatar AI dalam skema ini sengaja dirancang untuk meningkatkan kepercayaan dan kesan profesional. Wajah yang ramah, suara yang meyakinkan, serta bahasa yang rapi membuat banyak calon korban tidak menyadari bahwa mereka sedang berinteraksi dengan entitas buatan, bukan manusia sungguhan. Bahkan, beberapa penipu menciptakan latar belakang kantor digital atau suasana seminar online untuk memberi kesan resmi.
Dalam beberapa kasus, pelaku juga memalsukan komentar atau testimoni dari pengguna lain, yang juga ditampilkan lewat avatar AI tambahan. Ini memperkuat ilusi bahwa produk digital tersebut memang laris dan terpercaya. Korban semakin terdorong untuk cepat membeli, apalagi jika dikatakan “stok terbatas” atau “promo hanya berlaku 30 menit lagi”.
Yang membuat modus ini makin sulit dikenali adalah minimnya kesadaran masyarakat tentang kemampuan manipulasi AI, terutama dalam tampilan visual dan suara. Banyak orang mengira jika ada “orang yang berbicara langsung” maka itu pasti asli dan bisa dipercaya, padahal semua bisa direkayasa dengan kecerdasan buatan dan sedikit editing.
Untuk mencegah penipuan semacam ini, pengguna harus selalu melakukan verifikasi sumber sebelum membeli produk digital. Jangan langsung percaya pada video promosi, apalagi jika penjual tidak memiliki identitas yang jelas, testimoni dari pembeli asli, atau review di platform resmi. Hindari melakukan pembayaran ke rekening pribadi tanpa perlindungan transaksi, dan pastikan hanya membeli dari situs terpercaya atau marketplace yang punya kebijakan refund.
Selain itu, edukasi tentang kemampuan manipulatif AI juga sangat penting, terutama di kalangan pengguna awam. Semakin banyak orang memahami bahwa teknologi bisa digunakan untuk meniru manusia dengan sangat meyakinkan, semakin besar peluang untuk menghindari jebakan semacam ini.
Penggunaan avatar AI untuk penipuan menunjukkan bahwa teknologi canggih pun bisa berubah menjadi alat kejahatan jika berada di tangan yang salah. Di tengah derasnya inovasi digital, kemampuan berpikir kritis dan hati-hati menjadi perlindungan terbaik dari tipu daya virtual yang makin halus dan profesional.