Dalam dunia rekrutmen modern, identitas profesional seperti HRD (Human Resource Development) perusahaan memiliki peran penting dalam membangun kepercayaan calon pelamar. Sayangnya, kepercayaan inilah yang kini banyak disalahgunakan oleh pelaku penipuan. Mereka dengan lihai memanfaatkan nama, jabatan, bahkan foto profil dari staf HRD sungguhan untuk menyebarkan lowongan kerja palsu yang menjerumuskan korban pada kerugian finansial.
Modus ini terlihat begitu meyakinkan. Korban biasanya menerima pesan langsung melalui email atau aplikasi perpesanan seperti WhatsApp atau Telegram, lengkap dengan perkenalan resmi. Nama pengirim mencantumkan identitas HRD dari perusahaan ternama, disertai logo perusahaan, jabatan, dan tanda tangan digital. Pesan tersebut berisi tawaran kerja yang menarik, dengan proses seleksi yang terlihat praktis dan cepat.
Setelah korban tertarik, pelaku akan mengirimkan detail pekerjaan, formulir pendaftaran, atau dokumen wawancara yang seolah-olah bersifat resmi. Beberapa bahkan menyertakan jadwal training, struktur gaji, dan informasi kerja yang sangat terperinci. Semua ini dibuat untuk menciptakan kesan profesional dan menghilangkan keraguan dari korban.
Namun, jebakan sesungguhnya muncul ketika proses rekrutmen berlanjut. Korban mulai diminta membayar sejumlah uang untuk kebutuhan administrasi, seperti biaya pelatihan, seragam, registrasi sistem kerja, atau asuransi kerja. Permintaan ini disampaikan seolah-olah sebagai prosedur standar perusahaan. Karena nama HRD yang digunakan adalah milik orang sungguhan dari perusahaan ternama, korban merasa percaya dan tidak menaruh curiga.
Yang tidak disadari korban, pelaku telah memalsukan identitas tersebut. Mereka mengambil nama dan jabatan dari situs profesional seperti LinkedIn atau website perusahaan, lalu menggunakannya untuk membuat akun palsu. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan meniru gaya bahasa atau tanda tangan email asli agar semakin sulit dibedakan dari yang asli.
Setelah uang ditransfer, korban tidak pernah mendapatkan pekerjaan yang dijanjikan. Akun pelaku bisa saja langsung menghilang, atau masih terus menjanjikan proses lanjutan yang tak pernah selesai. Dalam beberapa kasus, korban yang sadar tertipu mencoba menghubungi perusahaan tempat si “HRD” bekerja, dan baru mengetahui bahwa lowongan tersebut tidak pernah ada.
Penipuan semacam ini sangat berbahaya karena merusak kepercayaan publik terhadap dunia kerja digital. Bukan hanya menyebabkan kerugian finansial, tapi juga trauma psikologis bagi korban yang merasa dikhianati oleh institusi yang mereka anggap kredibel.
Langkah penting untuk melindungi diri dari modus ini adalah melakukan verifikasi menyeluruh terhadap tawaran kerja yang diterima. Jangan hanya melihat nama pengirim, tapi periksa juga alamat email, nomor telepon, dan cara komunikasi mereka. HRD asli biasanya menggunakan alamat email perusahaan resmi, bukan akun gratisan seperti Gmail atau Yahoo.
Jika menerima tawaran kerja secara langsung, cari tahu lebih dulu melalui situs resmi perusahaan atau kontak resmi di platform profesional. Hindari memberikan data pribadi terlalu cepat, apalagi melakukan transfer uang dalam bentuk apa pun. Perusahaan yang profesional tidak akan meminta bayaran di awal proses rekrutmen.
Selain itu, waspadalah terhadap pesan yang terlalu terburu-buru atau mendesak korban untuk segera melakukan pembayaran demi “mengamankan posisi”. Taktik tekanan waktu sering digunakan penipu agar korban tidak sempat berpikir atau mencari konfirmasi.
Literasi digital menjadi kunci utama dalam menghadapi ancaman semacam ini. Di tengah derasnya informasi dan peluang di dunia maya, kewaspadaan dan kemampuan memverifikasi sumber menjadi benteng pertahanan yang sangat penting. Jangan mudah tergiur oleh nama besar atau proses yang tampak mulus—pastikan semuanya benar-benar bisa dibuktikan.