Bayangkan menerima email atau pesan di media sosial dari seseorang yang mengaku sebagai pejabat tinggi PBB, anggota organisasi filantropi global, atau perwakilan dari yayasan luar negeri. Mereka mengatakan Anda terpilih sebagai penerima dana hibah sebesar ratusan juta rupiah. Alasan terpilihnya Anda bisa bermacam-macam—karena aktif di komunitas sosial, karena dianggap layak menerima bantuan pandemi, atau bahkan karena hasil undian dari program global. Tawaran itu terdengar sangat meyakinkan. Tapi kenyataannya, itu hanyalah salah satu skema penipuan yang telah menjebak ribuan orang di seluruh dunia.
Penipuan berkedok dana hibah internasional bukan hal baru. Ia telah berevolusi dari surat pos ke email, lalu ke WhatsApp, dan kini banyak menyasar korban lewat Facebook dan Instagram. Pelaku biasanya mengaku sebagai perwakilan dari organisasi besar seperti WHO, UNESCO, Bill & Melinda Gates Foundation, hingga bank dunia. Mereka menampilkan logo resmi, tanda tangan digital, dan dokumen PDF palsu yang tampak meyakinkan. Target mereka adalah orang-orang yang sedang dalam kondisi terdesak, yang ingin keluar dari kemiskinan, atau yang bermimpi menjalankan usaha sosial.
Modusnya sederhana namun licik. Setelah “diberitahu” bahwa Anda berhak menerima hibah besar, pelaku akan meminta Anda untuk mengisi formulir data pribadi, termasuk nomor rekening, alamat lengkap, dan fotokopi identitas. Lalu mereka akan mengirimkan surat bahwa dana siap ditransfer, namun dibutuhkan biaya administrasi terlebih dahulu—biasanya berkisar antara Rp1 juta hingga Rp10 juta. Uang ini disebut sebagai biaya pengesahan, pajak hibah internasional, atau biaya transfer lintas negara.
Korban yang merasa sudah dekat dengan keberuntungan besar biasanya langsung tergoda. Mereka menggadaikan barang, meminjam dari teman, bahkan menarik tabungan untuk membayar “administrasi” tersebut. Namun setelah dana dikirim, pelaku kembali meminta biaya tambahan: verifikasi rekening, asuransi dana, bahkan bea cukai jika hibah disebut dalam bentuk barang. Setiap pembayaran hanya menambah jerat, hingga akhirnya korban sadar bahwa hibah itu tak pernah ada.
Yang paling menyakitkan dari modus ini adalah bagaimana pelaku memanipulasi harapan. Mereka tidak menekan korban dengan ancaman, tetapi membujuk dengan janji yang sangat indah. Mereka memberi ilusi bahwa hidup korban akan berubah dalam waktu dekat—bahwa semua kesulitan akan segera selesai. Ini membuat korban bukan hanya kehilangan uang, tetapi juga rasa percaya, martabat, dan mimpi yang telah mereka bangun.
Beberapa pelaku bahkan menggunakan wajah orang lain yang terlihat dermawan dan profesional di media sosial. Mereka membuat akun palsu atas nama tokoh amal terkenal dan memanfaatkan nama besar untuk memperdaya korban. Bahkan ada yang menyebarkan testimoni palsu dari “penerima hibah sebelumnya” lengkap dengan foto dan ucapan terima kasih, agar korban merasa tidak sendirian.
Hingga kini, banyak korban yang tidak melapor karena merasa malu atau takut dihakimi. Padahal melaporkan penipuan semacam ini sangat penting, karena memungkinkan pihak berwenang untuk melacak pola penyebaran, memblokir rekening pelaku, dan memperingatkan masyarakat lebih luas. Platform media sosial pun perlu lebih aktif dalam mengidentifikasi akun penipu dan bekerja sama dengan aparat.
Kunci untuk melindungi diri dari modus ini adalah skeptis terhadap tawaran yang terlalu muluk. Organisasi resmi tidak akan meminta uang untuk memberikan bantuan. Hibah internasional sejati biasanya memiliki prosedur ketat, pengumuman publik, dan melibatkan proses seleksi yang transparan—bukan undangan mendadak via email pribadi. Jangan mudah percaya hanya karena ada logo resmi atau bahasa Inggris yang terdengar meyakinkan.
Edukasi masyarakat tentang literasi digital dan finansial harus terus digalakkan. Terutama kepada kelompok rentan—seperti orang tua, pelajar, atau warga di daerah yang belum akrab dengan dunia daring. Karena satu pesan manis dari “pemberi hibah” bisa jadi awal dari rangkaian penderitaan yang panjang.
Hibah sejati tidak akan membuat Anda kehilangan uang lebih dulu. Jika harus membayar untuk menerima hadiah, hampir bisa dipastikan itu bukan bantuan—melainkan jebakan.