Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) menghadirkan kemudahan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk hiburan dan komunikasi. Salah satu tren yang sangat digemari saat ini adalah penggunaan filter berbasis AI, yang memungkinkan pengguna mengubah wajah, menambahkan efek, atau bahkan menciptakan versi virtual diri mereka sendiri. Namun di balik keasyikan itu, tersembunyi bahaya serius: identitas digital yang disalahgunakan oleh pelaku kejahatan siber untuk menjalankan penipuan.
Modus kejahatan ini berawal dari aktivitas yang terlihat sepele, seperti mengunggah video menggunakan filter wajah AI atau mengakses aplikasi yang menjanjikan “transformasi wajah masa depan” atau “versi kartun dari foto Anda”. Tanpa disadari, pengguna menyerahkan data wajah mereka secara lengkap, yang kemudian bisa diproses oleh sistem canggih untuk membuat replika digital yang menyerupai aslinya—baik berupa foto, suara, maupun video.
Data digital ini kemudian digunakan penipu untuk menjalankan berbagai modus. Salah satu yang paling umum adalah menyamar sebagai korban dan meminta uang kepada keluarga atau teman melalui pesan pribadi, lengkap dengan foto wajah atau video yang tampak otentik. Karena tampilan visualnya sangat meyakinkan, banyak yang langsung percaya dan mentransfer uang tanpa curiga. Dalam kasus lain, wajah korban dimanipulasi untuk membuat konten palsu, yang bisa dijadikan alat pemerasan atau penyebaran hoaks.
Lebih mengerikan lagi, beberapa pelaku memanfaatkan hasil manipulasi AI untuk membuat video deepfake, yang menampilkan korban dalam situasi sensitif atau memalukan. Video tersebut kemudian digunakan untuk menakut-nakuti korban atau meminta uang tutup mulut. Ini bukan hanya penipuan finansial, tapi juga bentuk kekerasan digital yang bisa menghancurkan reputasi dan kondisi mental korban.
Sayangnya, tidak semua orang memahami bagaimana data mereka bisa digunakan setelah mengakses filter AI. Banyak aplikasi tidak transparan dalam kebijakan privasinya, atau dengan sengaja menyembunyikan fakta bahwa data pengguna akan disimpan, dianalisis, dan bisa dijual ke pihak ketiga. Celah inilah yang dimanfaatkan oleh sindikat penipuan digital yang semakin terorganisir.
Agar terhindar dari jebakan semacam ini, pengguna internet harus lebih kritis dan berhati-hati saat menggunakan aplikasi filter wajah, terutama yang meminta izin akses kamera dan galeri. Jangan mudah tergiur dengan tren viral yang belum tentu aman, dan hindari memberikan informasi pribadi di platform yang tidak jelas asal-usulnya. Membaca kebijakan privasi sebelum mengunggah data wajah juga menjadi langkah penting yang sering diabaikan.
Selain edukasi teknis, masyarakat juga perlu diberi pemahaman bahwa wajah dan suara kini bisa direkayasa dengan sangat realistis. Karena itu, jangan langsung percaya jika ada permintaan uang dari seseorang hanya karena wajahnya mirip teman atau anggota keluarga. Verifikasi selalu melalui jalur komunikasi lain seperti telepon langsung atau bertemu secara fisik, bila memungkinkan.
Penipuan berbasis AI adalah bentuk ancaman digital masa kini yang memerlukan kewaspadaan ekstra. Di era serba canggih ini, identitas bukan hanya soal kartu dan nomor, tapi juga data visual yang bisa diubah dan dipakai oleh siapa pun—dengan niat baik, atau sebaliknya.