Di era digital, komunitas hobi tumbuh subur di berbagai platform — mulai dari forum daring, grup Facebook, hingga chat WhatsApp atau Telegram. Komunitas ini dibentuk berdasarkan kesamaan minat: fotografi, otomotif, koleksi mainan, tanaman hias, hingga pecinta buku. Tujuan utamanya sederhana, yakni saling berbagi informasi, berdiskusi, dan menjalin pertemanan. Namun, belakangan ini, komunitas-komunitas tersebut justru menjadi ladang empuk bagi penipu yang menyamar sebagai anggota aktif dan memanfaatkan semangat kebersamaan untuk melancarkan aksi kejahatan.
Modusnya tidak langsung. Pelaku akan terlebih dulu bergabung dalam komunitas dan menjadi anggota yang tampak aktif. Ia rajin berkomentar, membagikan informasi yang relevan, bahkan ikut dalam diskusi-diskusi ringan. Selama beberapa waktu, pelaku membangun citra sebagai anggota yang ramah dan mudah diajak ngobrol. Ia bisa menyapa anggota lain satu per satu lewat pesan pribadi, membuat konten ringan, dan tak jarang menawarkan diskusi di luar topik hobi untuk menjalin kedekatan emosional.
Setelah kepercayaan mulai terbentuk, pelaku akan mengusulkan ide pertemuan tatap muka atau kopdar (kopi darat). Kopdar ini dikemas seolah menjadi ajang silaturahmi dan penguatan solidaritas antaranggota komunitas. Ia mengajukan lokasi, menyebut jumlah peserta yang akan hadir (yang semuanya fiktif atau hasil rekayasa), dan merancang kegiatan yang terdengar menarik: diskusi santai, pameran kecil-kecilan, workshop, hingga tukar barang koleksi.
Tak lama setelah rencana kopdar disepakati secara informal, pelaku mulai meminta “biaya akomodasi” kepada calon peserta. Alasan yang digunakan bisa bermacam-macam — untuk sewa tempat, konsumsi, biaya cetak merchandise komunitas, atau sebagai tanda jadi agar pelaku bisa memesan tempat lebih dulu. Nominalnya sering kali dibuat kecil agar tidak mencurigakan, seperti Rp50.000 hingga Rp150.000 per orang. Pelaku biasanya juga menyatakan bahwa dana bisa dikembalikan jika acara batal, dan pembayaran dilakukan secara personal melalui rekening atau e-wallet miliknya.
Korban, yang sudah merasa akrab dan percaya karena interaksi sebelumnya, dengan mudah mentransfer uang tersebut tanpa berpikir panjang. Apalagi jika komunitas yang diikuti terasa solid dan tidak pernah ada masalah sebelumnya. Namun mendekati hari-H, pelaku mulai sulit dihubungi. Grup komunitas menjadi sepi, atau akun pelaku tiba-tiba hilang dari grup. Saat dicari, tidak ada satu pun anggota lain yang benar-benar pernah berinteraksi langsung dengannya secara nyata. Kopdar pun tidak pernah terjadi, dan uang akomodasi raib tanpa jejak.
Yang menyedihkan, komunitas yang sebelumnya penuh semangat berbagi kini berubah menjadi ruang penuh kecurigaan. Kepercayaan antarpengguna hancur, dan tak jarang para admin komunitas merasa bersalah karena merasa kecolongan. Beberapa komunitas bahkan bubar karena merasa tak lagi aman dari penyusup yang memanfaatkan nama baik kolektif untuk keuntungan pribadi.
Penipuan semacam ini menjadi bukti bahwa bahkan ruang-ruang sosial yang terbentuk dari kesamaan minat dan kebaikan kolektif bisa disusupi oleh pelaku kejahatan. Mereka tahu bagaimana membangun relasi, berpura-pura peduli, dan memanfaatkan solidaritas yang tulus demi mendapatkan keuntungan secara licik.
Agar tidak menjadi korban, penting bagi setiap anggota komunitas digital untuk memiliki batasan yang jelas dalam berinteraksi. Jangan mudah percaya pada ajakan kegiatan offline tanpa kejelasan, dan selalu minta bukti konkret: siapa penyelenggara, di mana acaranya, dan siapa saja yang akan hadir. Pastikan juga bahwa pembayaran dilakukan melalui jalur resmi atau transparan, bukan ke rekening pribadi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Admin komunitas juga memegang peran penting dalam menjaga integritas forum. Setiap rencana kegiatan harus diawasi, divalidasi, dan disahkan oleh pengurus grup. Perlu ada mekanisme verifikasi identitas bagi anggota baru yang aktif menawarkan agenda di luar kegiatan biasa. Transparansi dan keterbukaan menjadi benteng utama agar komunitas tetap aman dari manipulasi.
Komunitas hobi adalah ruang untuk bertumbuh bersama, bukan untuk dijadikan alat eksploitasi. Maka dari itu, semangat kebersamaan harus dibarengi dengan kewaspadaan, agar kebaikan yang dibangun dari minat yang sama tidak dikotori oleh niat jahat segelintir orang. Dalam dunia digital, bahkan teman yang tampak paling ramah bisa saja hanya sedang menunggu momen yang tepat untuk menipu.