Di era digital saat ini, WhatsApp menjadi salah satu sarana komunikasi paling populer, termasuk di lingkungan keluarga. Grup WhatsApp keluarga terbentuk hampir di setiap rumah tangga — tempat berbagi kabar, doa, momen bahagia, hingga pengumuman penting. Namun, siapa sangka bahwa ruang yang seharusnya menjadi tempat paling aman dan pribadi itu kini juga dijadikan sasaran empuk oleh pelaku penipuan digital?
Modus penipuan via grup WhatsApp keluarga bukan hanya semakin sering terjadi, tapi juga semakin halus dan sulit dideteksi. Pelaku menyusup ke grup keluarga dengan berbagai cara, umumnya dengan menyamar sebagai salah satu anggota keluarga, lengkap dengan nama, foto profil, dan gaya bicara yang sangat mirip. Hal ini dimungkinkan karena informasi pribadi sering tersebar di media sosial atau bocor dari kebiasaan membagikan data secara sembarangan.
Setelah berhasil masuk, pelaku mulai menjalankan aksinya dengan mengirim pesan yang terlihat biasa. Misalnya, meminta bantuan dana untuk keperluan mendesak, transfer uang untuk biaya rumah sakit, atau mengaku sedang berada di luar kota dan dompetnya tertinggal. Karena pesan datang dari “anggota keluarga”, dan karena berada dalam suasana kekeluargaan, anggota grup lainnya cenderung langsung percaya dan terburu-buru membantu — tanpa melakukan verifikasi lebih lanjut.
Modus lainnya adalah membagikan link jebakan di dalam grup, seperti undangan pernikahan digital, file berisi “data keluarga”, atau tautan yang disebut-sebut sebagai daftar warisan. Sekali klik, korban bisa diarahkan ke situs palsu yang mencuri data pribadi atau bahkan menginfeksi perangkat dengan malware. Dalam hitungan detik, akun WhatsApp bisa diretas, dan penipuan semakin meluas ke grup atau kontak lain.
Yang membuat penipuan ini sangat berbahaya adalah faktor kepercayaan. Grup keluarga dibangun dari rasa aman, persaudaraan, dan hubungan darah. Karena itulah, anggota keluarga tidak menyangka bahwa pesan yang mereka baca bisa berasal dari orang asing. Apalagi jika penipu menggunakan kalimat yang lembut, penuh empati, atau menyentuh emosi, misalnya dengan menyebut anak, orang tua, atau kondisi mendesak.
Untuk mencegahnya, langkah pertama adalah mengedukasi seluruh anggota keluarga—terutama orang tua dan lansia—agar tidak mudah percaya pada permintaan uang atau informasi pribadi, meskipun datang dari grup keluarga. Ajarkan prinsip “verifikasi dua langkah”: selalu hubungi langsung orang yang bersangkutan melalui telepon sebelum melakukan apa pun.
Langkah kedua, aktifkan fitur keamanan di WhatsApp seperti verifikasi dua langkah (two-step verification), dan hindari membagikan kode OTP kepada siapa pun. Selain itu, sebaiknya batasi anggota yang bisa menambahkan orang ke dalam grup, agar tidak sembarang nomor bisa bergabung.
Perlu juga ditekankan agar tidak sembarangan membagikan informasi sensitif di dalam grup, seperti nomor rekening, kartu keluarga, jadwal keberangkatan, atau identitas anak-anak. Meskipun terasa seperti ruang aman, tetaplah sadar bahwa perangkat bisa saja diakses orang lain jika jatuh ke tangan yang salah.
Penipuan melalui grup WhatsApp keluarga mengajarkan satu hal penting: kejahatan digital tidak lagi datang dari luar, tapi bisa menyusup ke ruang paling pribadi. Oleh karena itu, keamanan digital harus menjadi budaya keluarga, bukan hanya urusan individu. Literasi digital bukan hanya milik anak muda, tetapi harus menyentuh seluruh generasi.
Jika satu keluarga bisa tertipu, maka ratusan keluarga lainnya juga bisa mengalami hal yang sama. Maka, mari mulai dari rumah—dengan saling mengingatkan, membangun budaya curiga sehat, dan tidak mudah terpancing emosi saat menerima pesan mendadak. Karena saat ini, musuh bisa datang dengan nama yang sangat akrab, bahkan dari grup yang seharusnya paling kita percayai.