Di antara berbagai modus penipuan yang berkembang di era digital, salah satu yang paling mengejutkan adalah penipuan berkedok nostalgia. Dalam modus ini, pelaku tiba-tiba muncul di kehidupan seseorang, mengaku sebagai teman lama—entah teman sekolah, rekan kerja masa lalu, bahkan tetangga semasa kecil. Dengan membawa cerita masa lalu yang akrab, pelaku dengan cepat membangun kembali kedekatan emosional. Namun di balik sapaan hangat itu, terselip niat jahat: menguras kepercayaan, lalu uang.
Modus ini bekerja karena manusia secara alami memiliki keterikatan dengan masa lalu. Ketika ada seseorang yang mengingat nama panggilan semasa sekolah atau momen lucu sewaktu masih remaja, kita cenderung percaya tanpa berpikir panjang. Pelaku memanfaatkan kerinduan dan kenangan itu sebagai celah untuk masuk ke kehidupan korban, menyapa lewat media sosial, pesan pribadi, atau bahkan telepon langsung.
Setelah hubungan dibangun, pelaku biasanya menyusun cerita penuh empati: sedang ada masalah keuangan, keluarganya sakit, atau terlilit utang mendesak. Karena hubungan lama yang terasa “tulen”, korban kerap merasa tidak tega dan memilih untuk membantu. Kalimat seperti “cuma kamu yang bisa aku percaya” atau “aku nggak berani minta ke orang lain” digunakan untuk menekan secara emosional.
Namun, niat baik korban justru menjadi celah kelemahan. Begitu uang dikirim, komunikasi perlahan memudar. Pelaku mulai sulit dihubungi, menghilang dari media sosial, atau memblokir nomor. Barulah korban menyadari bahwa apa yang mereka anggap sebagai reuni hangat hanyalah sandiwara licik. Bahkan, dalam banyak kasus, teman lama yang dimaksud ternyata hanya rekayasa belaka, atau identitasnya dipalsukan.
Bahaya utama dari modus ini adalah kombinasi antara kehangatan emosional dan kelengahan logika. Korban merasa “bertemu kembali” dengan masa lalu yang hangat, dan itulah yang membuat jebakan ini begitu efektif. Pelaku tidak perlu bersusah payah membujuk, cukup membangkitkan kenangan dan sedikit sandiwara tentang kesusahan hidup.
Sayangnya, masih banyak orang yang belum menyadari bahwa nostalgia bisa dimanipulasi. Media sosial menjadi alat utama para penipu dalam merangkai profil dan mencari informasi pribadi yang bisa digunakan untuk menyamar sebagai teman lama. Nama sekolah, tahun lulus, foto-foto lama—semuanya bisa diambil dari postingan korban atau lingkaran pertemanan daring.
Untuk itu, sangat penting untuk tetap waspada meskipun seseorang datang membawa kenangan lama. Jangan langsung percaya hanya karena nama atau cerita terasa familiar. Lakukan verifikasi ganda, tanyakan hal-hal spesifik yang hanya diketahui orang terdekat, dan jangan sekali-kali mengirim uang jika belum yakin sepenuhnya. Bila perlu, hubungi teman lain dari masa yang sama untuk memastikan kebenaran identitasnya.
Pendidikan digital saat ini tidak cukup hanya mengajarkan soal keamanan akun atau cara mengenali phishing. Kita juga perlu paham tentang manipulasi psikologis dalam interaksi online. Bahwa bukan hanya teknologi yang bisa menipu, tapi juga sentuhan emosional yang tampaknya tulus. Kewaspadaan bukan berarti curiga berlebihan, tetapi menjaga jarak yang sehat antara empati dan kehati-hatian.
Karena dalam dunia maya, tidak semua kenangan datang untuk menghangatkan hati—sebagian mungkin datang untuk mencuri isi dompet kita.