Salah satu bentuk penipuan yang kian sering terjadi adalah jebakan melalui seminar bisnis palsu. Modus ini memanfaatkan tampilan acara yang terlihat profesional—lengkap dengan presentasi meyakinkan, lokasi di hotel, serta penggunaan istilah bisnis dan investasi yang seolah sah. Tujuannya adalah membuat peserta percaya bahwa mereka sedang mengikuti kegiatan edukatif, padahal sebenarnya diarahkan masuk ke dalam skema penipuan berkedok investasi.
Bahaya utama dari modus ini adalah sifatnya yang memanipulasi psikologis peserta. Seminar biasanya dibuka dengan presentasi tentang kesuksesan finansial, kebebasan ekonomi, dan peluang besar yang terbatas. Semua dirancang untuk membangkitkan rasa ingin cepat kaya, rasa takut ketinggalan, serta menciptakan tekanan sosial agar peserta segera mengambil keputusan. Penipuan semacam ini tidak mengandalkan kekerasan, tapi sugesti dan emosi.
Dalam seminar semacam itu, sering kali ditawarkan produk investasi yang menjanjikan keuntungan tinggi dalam waktu singkat. Produk ini bisa berbentuk reksa dana fiktif, program “robot trading”, koperasi investasi, hingga platform aset digital yang tidak terdaftar. Ciri khasnya adalah: peserta harus menyetor dana langsung di tempat, disertai janji bonus atau return bulanan yang sangat tinggi dan tidak realistis.
Biasanya, pelaku menyisipkan istilah legal dan dokumen yang tampak sah, tapi ketika ditelusuri, perusahaan yang disebut tidak terdaftar di OJK atau tidak memiliki izin resmi. Dalam beberapa kasus, peserta juga diminta menandatangani pernyataan bahwa mereka paham risiko investasi, padahal risiko itu tidak dijelaskan dengan jujur sejak awal. Ini adalah bentuk manipulasi hukum yang bisa mempersulit korban jika ingin menuntut keadilan setelah tertipu.
Hal yang membuat seminar seperti ini makin berbahaya adalah suasananya yang kolektif. Ketika satu orang terlihat antusias dan ikut, orang lain cenderung ikut-ikutan karena takut ketinggalan atau merasa tidak percaya diri untuk menolak. Dalam kondisi ini, keputusan yang seharusnya dibuat dengan perhitungan rasional justru diambil karena tekanan sosial.
Setelah uang disetorkan, biasanya kontak langsung dengan “penyelenggara” menjadi sulit. Website yang digunakan tidak bisa diakses, nomor telepon tidak aktif, dan kantor yang tertera di brosur hanya berupa alamat fiktif. Pada akhirnya, korban baru sadar telah ditipu setelah kerugian terjadi dan semua akses ditutup.
Untuk mencegah jatuh ke dalam jebakan ini, masyarakat perlu memahami bahwa seminar edukatif sejati tidak akan menekan peserta untuk menyetor uang di tempat. Acara yang sehat akan memberi waktu untuk berpikir, riset mandiri, dan menyediakan informasi legal yang bisa diverifikasi. Jika sebuah seminar terasa terlalu mendesak, menjanjikan keuntungan besar tanpa risiko, dan membuat peserta merasa harus segera ambil keputusan—besar kemungkinan itu adalah skema penipuan.
Edukasi dan kewaspadaan menjadi senjata utama. Jangan mudah tergiur dengan suasana mewah, tampilan profesional, atau kata-kata motivasi yang menghipnotis. Dunia investasi membutuhkan logika, data, dan pertimbangan matang—bukan euforia sesaat.