Penipuan melalui sambungan telepon dengan modus mengaku sebagai anggota keluarga yang sedang mengalami masalah serius bukanlah hal baru, tetapi kasusnya masih terus terjadi dan memakan banyak korban. Modus ini sangat merugikan secara psikologis dan finansial karena pelaku bermain di wilayah emosi dan rasa sayang korban kepada orang terdekat.
Dalam skenario umum, korban menerima telepon dari nomor tak dikenal. Di ujung sambungan, terdengar suara panik atau terburu-buru yang mengaku sebagai anak, keponakan, atau saudara. Ia mengatakan baru saja ditangkap polisi karena kasus tertentu, biasanya kecelakaan, narkoba, atau kesalahpahaman. Dengan suara tergesa-gesa, pelaku meminta korban untuk tidak menelepon siapapun dan segera mentransfer sejumlah uang agar kasus tersebut bisa “diselesaikan di tempat.”
Yang lebih licik, pelaku kadang mengoper telepon ke orang kedua yang mengaku sebagai anggota kepolisian, penyidik, atau pengacara, yang terdengar sangat formal dan menyakinkan. Mereka menjelaskan bahwa kasus ini “bisa dinegosiasi secara kekeluargaan” dengan catatan uang segera ditransfer. Nada bicara yang meyakinkan dan cepat membuat korban sulit berpikir rasional.
Tidak sedikit korban yang akhirnya panik, menangis, dan segera mentransfer uang dengan jumlah besar. Setelah beberapa waktu, barulah mereka sadar bahwa yang menelepon bukanlah anggota keluarga mereka, dan tidak ada kasus apapun yang terjadi. Ketika mencoba menghubungi kembali nomor tersebut, sambungan sudah tidak aktif.
Yang lebih mencemaskan, beberapa pelaku kini memanfaatkan data pribadi dari media sosial untuk memperkuat aksinya. Mereka tahu nama lengkap anak korban, sekolah atau universitasnya, bahkan aktivitas terakhirnya. Hal ini membuat korban benar-benar percaya bahwa yang menelepon adalah orang yang mereka kenal.
Kasus ini menyoroti betapa pentingnya menjaga privasi di internet dan media sosial. Informasi sederhana seperti nama anak, foto keluarga, atau lokasi saat ini bisa menjadi amunisi bagi penipu untuk memanipulasi emosi dan keyakinan seseorang. Pelaku juga sering menyerang di waktu-waktu rentan seperti tengah malam atau pagi buta, saat korban dalam keadaan mengantuk atau tidak waspada.
Banyak laporan dari pihak kepolisian menyebutkan bahwa pelaku penipuan ini biasanya bekerja dalam jaringan, bahkan dari dalam lembaga pemasyarakatan. Mereka memiliki skrip percakapan yang sudah terstruktur, data sasaran, dan sistem operasional yang mirip call center.
Upaya penindakan terhadap pelaku memang terus dilakukan. Beberapa jaringan berhasil dibongkar dan ditangkap. Namun, karena sifat penipuan ini tidak membutuhkan pertemuan fisik dan bisa dilakukan dari mana saja, pelaku baru terus bermunculan. Inilah sebabnya mengapa pencegahan dan edukasi kepada masyarakat menjadi sangat krusial.
Langkah utama untuk menghindari jebakan ini adalah tetap tenang saat menerima telepon dari nomor tidak dikenal, apalagi jika disertai kabar mengejutkan. Segera hubungi anggota keluarga terkait untuk verifikasi, jangan melakukan transfer apapun sebelum memastikan kebenaran informasi. Jika perlu, laporkan ke pihak berwajib untuk ditindaklanjuti.
Selain itu, biasakan anggota keluarga untuk memiliki kode rahasia atau prosedur darurat tertentu agar jika hal serupa terjadi, kita bisa segera membedakan antara yang nyata dan yang palsu. Jangan pernah takut untuk memutus telepon yang mencurigakan atau terasa manipulatif.
Di era teknologi seperti sekarang, penipuan tidak lagi mengandalkan kekerasan, melainkan memainkan rasa cinta dan kepanikan seseorang. Masyarakat harus lebih cerdas, kritis, dan tidak mudah percaya pada segala bentuk kabar mengejutkan yang datang tiba-tiba melalui telepon. Karena satu tindakan tergesa bisa mengakibatkan kerugian puluhan juta rupiah, dan trauma yang membekas selamanya.