Pesan-pesan viral yang mengabarkan seseorang hilang, terutama anak sekolah, sering kali membuat masyarakat tergerak untuk membantu. Berbagai grup media sosial atau pesan berantai di WhatsApp kerap dibanjiri dengan unggahan tentang anak SMA yang dikabarkan hilang, lengkap dengan foto, ciri-ciri, dan permintaan menyebarluaskan informasi. Namun, dalam banyak kasus, informasi tersebut ternyata tidak benar alias hoaks, dan lebih parah lagi, sering digunakan sebagai pemicu awal untuk penipuan terselubung.
Modus ini biasanya dimulai dari sebuah pesan pribadi atau broadcast yang mengklaim ada seorang anak SMA yang sudah berhari-hari tidak pulang ke rumah. Dalam narasi tersebut, disebutkan bahwa orang tua atau wali murid sangat panik dan berharap siapapun yang melihat anak tersebut segera menghubungi nomor tertentu. Tak jarang, pesan disertai foto seorang remaja berseragam sekolah, lengkap dengan nama dan daerah domisili.
Awalnya, banyak yang mengira ini adalah bentuk kepedulian. Masyarakat pun menyebarkan informasi tersebut dengan niat membantu. Namun, setelah menyebar luas, pelaku biasanya mengedit ulang pesan yang sama untuk dijadikan ladang penipuan. Mereka akan mengirim pesan tambahan ke penerima sebelumnya, mengatakan bahwa anak tersebut sudah ditemukan, tetapi kini membutuhkan biaya rumah sakit, atau transportasi pulang, atau bahkan biaya pemulihan mental.
Di sinilah penipuan dimulai: pelaku mencantumkan nomor rekening pribadi dan meminta bantuan dana secara langsung. Karena penerima pesan merasa sudah ikut menyebarkan informasi sebelumnya, mereka merasa terikat secara emosional dan terdorong untuk ikut menyumbang. Padahal, baik anak yang dikabarkan hilang, maupun permintaan bantuannya, semuanya fiktif.
Bahkan dalam beberapa kasus, foto anak yang digunakan diambil secara sembarangan dari akun media sosial publik tanpa sepengetahuan keluarga. Ini tidak hanya merugikan korban secara finansial, tapi juga melanggar privasi dan dapat menyebabkan keresahan di tengah masyarakat.
Untuk mencegah penyebaran penipuan berkedok berita anak hilang, masyarakat perlu lebih berhati-hati dan kritis, antara lain dengan:
- Memastikan kebenaran informasi ke pihak sekolah atau kepolisian setempat.
- Mencari informasi resmi dari lembaga yang menangani orang hilang, seperti Lembaga Perlindungan Anak atau Dinas Sosial.
- Tidak menyebarkan ulang informasi jika tidak mengetahui sumbernya secara pasti.
- Menolak permintaan bantuan dana dari pihak yang tidak dikenal atau tanpa identitas yang jelas.
Kepedulian sosial harus disertai dengan verifikasi. Jangan sampai niat baik kita dimanfaatkan oleh oknum yang menjadikan cerita sedih fiktif sebagai alat untuk mencuri empati dan uang. Di era digital, membagikan informasi secara sembarangan bukan lagi bentuk solidaritas, melainkan bisa menjadi bagian dari rantai penipuan yang merugikan banyak orang.